Kamis 26 Oct 2023 15:57 WIB

Amil Zakat dan Sandwich Generation

Sejumlah amil tak sedikit yang sejak awal bergabung menjadi pada sebuah OPZ.

Amil Zakat (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi.
Amil Zakat (ilustrasi)

Oleh : Nana Sudiana (Direktur Akademizi & Associate Expert FOZ)

REPUBLIKA.CO.ID,

Ketika menghadiri acara HRD FOZ kemarin(18-19/10) di Jakarta, sejumlah pemateri, juga peserta sering kali menyebut soal kesejahteraan amil zakat. Sayangnya, di forum tidak terbahas dengan jelas, bagaimana mengatasi soal kesejahteraan amil ini. Apakah hanya dikembalikan pada kebijakan lembaga masing-masing seperti sebelum-sebelumnya atau ada tindakan konkret yang mampu mengatasinya?.

Bicara HRD atau SDM tentu saja bicara soal manusia. Apakah akan selesai hanya dengan bahas soal tools, soal KPI atau OKR? Tentu saja tidak bisa. Ada skema-skema nyata yang harus dilakukan OPZ bila ingin lembaga-nya langgeng dan amilnya sejahtera.

Di tengah masih “mendungnya” suasana perzakatan pascapandemi. Terbukti dari rata-rata penghimpunan ZIS dan qurban di tahun ini yang dirasakan sebagian besar OPZ, ternyata peningkatannya tak begitu naik signifikan.

Sejumlah pimpinan OPZ menyatakan bahwa belum membaiknya penghimpunan ZIS tahun ini diakarenakan Tiga alasan utama, yaitu : Pertama, masih melambatnya perkembangan ekonomi setelah pandemi, Kedua, masih adanya gelombang “distrust effect” pascakasus ditutupnya sebuah lembaga sosial di Jakarta, dan Ketiga, karena makin banyaknya Lembaga yang ada. Walau belum dilakukan riset mendalam soal ini, para pimpinan OPZ secara umum setuju dengan alasan-alasan ini.

Tulisan sederhana di bawah ini, bermaksud memotret relasi soal HRD ini dengan situasi terkini soal kesejahteraan para amil. Apakah ketika para HRD amil zakat bertemu, lantas tercetus ide konkret yang mampu mengangkat soal kesejahteraan amil di Indonesia.

Amil-amil yang ada, hari-hari ini faktanya makin berat menjalani kehidupannya. Banyak di antara mereka adalah masuk kategori “Sandwich Generation” yang hidupnya bukan semata untuk menanggung dirinya (dan keluarganya), namun juga generasi di atas (bapak/ibu kandung serta mertua, bahkan kakek/nenek), sekaligus di bawahnya (anak, adik, sepupu dan sebagainya).  

Memahami Sandwich Generation

Bagi sebagian amil, mungkin istilah “Sandwich Generation” masih belum cukup familiar. Namun faktanya, istilah ini sebenarnya sudah lumayan lama. Istilah ini awalnya dikenalkan pertama kali pada 1981 oleh seorang profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A.Miller.

Secara definisi, generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya. Situasi tadi yang secara analogi seperti sandwich, di mana sepotong daging terhimpit oleh 2 buah roti. Kedua roti tersebut diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), Adapun isi utama sandwich yang berupa daging, mayonnaise, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri.

Sejumlah amil tak sedikit yang sejak awal bergabung menjadi pada sebuah OPZ, bisa jadi masuk ke dalam situasi yang bernama generasi sandwich ini. Dilihat dari beban kehidupannya saja, kita bisa merasakan betapa bahwa generasi ini memiliki beban hidup yang sangat berat.

Dengan beban berat seperti ini, apa dampaknya bagi kelangsungan OPZ? Apakah mereka tetap bisa diandalkan sebagai SDM yang akan menjadi tulang punggung OPZ? Dengan situasi mereka yang tak mudah ini, apakah cita-cita, mimpi dan rencana-rencana strategis OPZ yakin akan tercapai dengan baik.  

Dampak dari Sandwich Generation

Sebenarnya fenomena generasi sandwich bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di sejumlah negara lain di dunia, baik di beberapa negara berkembang maupun negara maju. Kondisi ini terjadi pada seorang anak dalam suatu keluarga, di mana ia harus menghidupi orang tua, keluarganya sendiri, dan anak-anaknya dalam waktu bersamaan.

Dampak dari hal ini, sejumlah orang (termasuk juga para amil) akan sering mengalami tekanan psikis ketika bekerja. Lebih jauh, hal ini secara perlahan juga bisa memicu gangguan fisik seperti timbulnya sejumlah penyakit.

Selain di atas tadi, ada empat dampak utama langsung maupun tidak langsung  dari fenomena generasi sandwich ini, yaitu: pertama, tingkat stres yang lebih tinggi, kedua, Burnout atau kelelahan fisik dan juga mental pada diri sendiri. Ketiga, timbulnya perasaan bersalah atau merasa tidak puas, keempat, mudah merasa khawatir.

Amil zakat yang terjebak ke dalam generasi sandwich, harus dipahamkan bahwa situasi mereka tetap harus diperbaiki dan dicarikan jalan ke luar secara baik. Hal ini juga bukan pasrah lalu mengatakan, “ini sebagai bakti seorang anak terhadap keluarganya”.

Kenyataannya, kalau tak bisa teratasi, maka seorang amil akan tidak optimal dalam bekerja, saat yang sama juga akan mudah stres bahkan sakit juga. Apalagi generasi sandwich yang tidak menemukan solusi atas masalahnya saat ini, bisa secara langsung akan mewariskan juga generasi sandwich berikutnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement