Kamis 26 Oct 2023 16:48 WIB

Situasi Perang Buat Palestina Lebih Rentan Alami Krisis Iklim

Krisis iklim kerap dijumpai di negara yang berada dalam konflik bersenjata.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Asap mengepul menyusul serangan udara Israel di Jalur Gaza, Palestina.
Foto: AP Photo/Ariel Schalit
Asap mengepul menyusul serangan udara Israel di Jalur Gaza, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat di negara yang tengah berkonflik dinilai sebagai kelompok paling rentan terhadap perubahan iklim. Merujuk Indeks Inisiatif Adaptasi Global Notre Dame, dari 25 negara yang berada di peringkat paling rentan terhadap perubahan iklim, 14 di antaranya sedang mengalami konflik bersenjata, termasuk Yaman, Afghanistan, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo.

Kini, para ahli memperingatkan bahwa Jalur Gaza juga akan segera terjebak dalam Simpul Gordian, di mana krisis iklim bertemu dengan konflik bersenjata.

Baca Juga

"Yang satu memperburuk yang lain. Jika suatu tempat rentan terhadap iklim, orang-orang bisa saja saling memperebutkan sumber daya,” kata seorang ahli pembangunan internasional dan asisten profesor di York University, Yvonne Su, seperti dilansir France24 pada Kamis (26/10/2023).

Organisasi-organisasi internasional telah memperingatkan tentang minimnya infrastruktur dan sanitasi di Jalur Gaza, jauh sebelum perang antara Israel dan Hamas terjadi pada tanggal 7 Oktober. Wilayah yang dihuni oleh 2,2 juta orang ini memiliki panjang 41 kilometer dan lebar 10 kilometer, atau sekitar dua kali luas kota Washington DC, menjadikannya salah satu wilayah terpadat di dunia. Penduduknya secara sistematis menghadapi kekurangan makanan, air, listrik dan layanan kesehatan.

Namun, kawasan itu juga menghadapi kenaikan suhu, penurunan curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan peristiwa cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi, yang semuanya disebabkan oleh perubahan iklim, demikian menurut publikasi pada Juni 2022 dari Institute for National Security Studies.

"Pendorong utama kerentanan di Gaza adalah konflik, dan meningkatnya risiko iklim memperburuk kerentanan masyarakat," kata Catherine-Lune Grayson, kepala kebijakan di Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

Pada Januari 2022, banjir besar di Gaza merusak ratusan bangunan dan membuat seluruh sistem drainase tidak berfungsi, memaksa ribuan warga mengungsi. Jika peristiwa cuaca ekstrem melanda daerah itu sekarang, ketika akses ke kebutuhan dasar sangat terbatas, penduduk setempat tidak akan memiliki sarana untuk mengatasinya.  

"Pendudukan dan blokade yang berlangsung lama membuat orang-orang di Gaza memiliki sarana yang lebih terbatas dibandingkan dengan wilayah lainnya. Salah satu strategi adaptasi adalah dengan berpindah, misalnya, untuk mencari tanah atau air yang lebih subur. Hal itu bukanlah pilihan bagi orang-orang di Gaza," jelas Grayson.

Menurut indeks Risiko INFORM yang diterbitkan oleh Komisi Eropa, Wilayah Palestina termasuk di antara 25 wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim dan konflik dapat memicu pengungsian berskala besar, yang juga membebani sumber daya dan memperburuk ketegangan yang ada.

Di negara-negara yang sedang berkonflik, pihak berwenang juga kerap menggeser prioritas mitigasi iklim. Pada akhirnya, Palestina bukan hanya yang paling rentan terhadap perubahan iklim, tetapi juga tidak siap untuk beradaptasi.

"Konsekuensi dari konflik lebih dari apa yang kita lihat, seperti kematian dan kerusakan infrastruktur. Layanan penting seperti akses ke air, sekolah dan pusat kesehatan dapat hancur, yang akan memengaruhi ekonomi, berdampak pada kohesi sosial, dan berarti ada masyarakat yang kurang mampu mengatasi guncangan apapun termasuk perubahan iklim,” tegas Grayson.

Menurut ICRC, pendanaan aksi iklim antara negara-negara stabil dan rentan juga mengalami kesenjangan. Dan alasan mengapa pendanaan iklim hampir tidak menjangkau negara-negara yang sedang berkonflik adalah karena konflik itu sendiri.

“Negara yang sedang berkonflik cenderung sangat fokus, dengan alasan yang kuat, untuk memulihkan keamanan di wilayahnya. Negara tersebut mungkin tidak melihat dampak jangka panjang dari risiko iklim,” kata dia.

ICRC saat ini sedang mencari cara untuk memperkuat ketahanan Gaza dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada. "Kami sedang mencari, misalnya, bagaimana memastikan titik air dapat terus berfungsi meskipun ada dampak pada produksi listrik. Kita perlu membangun ketahanan terhadap guncangan yang diakibatkan oleh konflik, tetapi juga guncangan yang diakibatkan oleh perubahan iklim,” kata Grayson.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement