REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan mungkin akan mengambil langkah besar untuk mencapai target emisi karbon Net Zero, berkat penelitian alga yang dilakukan oleh University of Houston. Potensi tersembunyi sedang diungkap dalam penelitian alga (ganggang) di laboratorium produk mikroba, yang terletak di UH di Sugar Land, Texas, AS.
Venkatesh Balan, professor rekayasa teknologi di University of Houston, sedang mengeksplorasi sifat-sifat yang mengejutkan di antara organisme fototropik air tawar dan air asin yang disebut sebagai mikroalga. Mikroalga dapat menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Yang menarik, mikroalga mampu mengubah CO2 yang ditangkap menjadi protein, lipid, dan karbohidrat.
"Proses ramah lingkungan ini melampaui masalah iklim. Sebagai contoh, proses ini bahkan dapat mengubah cara kita memproduksi makanan," ujar Balan, yang telah mempelajari alga selama tujuh tahun.
Penelitian Balan mengevaluasi potensi penggunaan mikroalga untuk mengolah air limbah dan menggunakan biomassa ganggang untuk memproduksi makanan, pupuk, bahan bakar, dan bahan kimia. Alga yang ditanam dalam pengolahan air tawar, seperti spirulina, digunakan dalam suplemen kesehatan dan kosmetik. Di masa depan, mikroalga dapat digunakan sebagai bahan baku berkelanjutan untuk memproduksi bahan bakar nabati dan biokimia yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Namun, kekuatan mikroalga yang paling mendesak adalah potensinya untuk memainkan peran kunci dalam menjawab pemanasan global di seluruh dunia.
"Kita sedang mengalami perubahan iklim. Suhu panas mencapai 38 derajat Celcius selama tiga bulan di Texas, dan di beberapa bagian dunia lain, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Itu adalah bukti dari perubahan iklim. Tidak ada yang bisa menyangkalnya," kata Balan seperti dilansir Eurasia, Senin (30/10/2023).
Efek rumah kaca juga telah mempercepat pemanasan global. Gas rumah kaca dapat terdiri dari gas apa pun yang menyerap radiasi inframerah. Di atmosfer Bumi, CO2 dan klorofluorokarbon adalah faktor utama.
"Ada banyak ketertarikan di antara para pembuat undang-undang dan pembuat kebijakan, bahkan di antara perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan gas rumah kaca, untuk mencari alternatif, terutama untuk gas-gas yang dikeluarkan oleh industri," ujar Balan.
Namun industri tidak dapat disalahkan atas semua masalah polusi yang terjadi. Balan mengatakan bahwa pilihan gaya hidup masyarakat seperti makanan yang dikonsumsi, food waste atau pemborosan pangan, dan kendaraan pribadi, turut berkontribusi dalam peningkatan emisi karbon.
“Jumlahnya sangat banyak, namun masalah karbon itu mudah diabaikan karena kita tidak bisa melihat secara langsung. Namun, semua konsumen berkontribusi, dengan cara kita sendiri, terhadap efek rumah kaca,” kata Balan.
Untuk mengatasi kelebihan CO2 di atmosfer, banyak ahli yang telah menciptakan berbagai inovasi seperti teknologi penangkap karbon atau mengubur karbon di bawah lautan. Namun semua itu, membutuhkan biaya yang mahal dan energi yang tidak sedikit.
"Kami datang dengan pendekatan alternatif menggunakan ganggang untuk memperbaiki CO2 dan kemudian menggunakan karbon untuk membuat bioproduk yang berguna bagi umat manusia," jelas Balan.
Balan dan asisten peneliti Masha Alian juga menemukan bahwa ganggang dapat digunakan sebagai substrat untuk memproduksi jamur, alat lain yang berguna dalam mencapai Net Zero. Hubungan simbiosis antara ganggang dan jamur dapat ditemukan pada lumut, yang merupakan organisme komposit.
Di laboratorium Balan, para peneliti mencoba meniru bagaimana lumut tumbuh di alam. "Ganggang menghasilkan oksigen, dan jamur menstabilkan CO2 dan menghasilkan oksigen. Sebagai bonus, sebagian besar makanan yang terdiri dari ganggang dan jamur dapat dikonversi menjadi produk makanan sehat,” kata Balan.