REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memburuknya kondisi gelombang panas di kawasan pertanian di Amerika Serikat memengaruhi kelangsungan hidup para fauna, khususnya burung. Berdasarkan studi terbaru, tercatat sudah ada jutaan bayi burung yang mati akibat kondisi panas ekstrem.
Studi itu digagas oleh tim peneliti dari University of California Davis di AS. Menurut para peneliti, kematian bayi burung serta unggas yang masih berusia muda dipicu dehidrasi dan gangguan termoregulasi (kemampuan makhluk hidup untuk meregulasi suhu tubuh).
Kebanyakan bayi burung ada di sarang terbuka di area lahan yang tidak teduh. Kelangsungan hidup mereka juga bergantung pada kemampuan induknya untuk mencari makan dan mendukung sarang, yang keduanya berpotensi terhambat oleh suhu ekstrem.
Salah satu penulis utama studi, Katherine Lauck, menyebutkan bahwa selama ini konversi habitat untuk pertanian telah mempengaruhi keanekaragaman hayati dan kesehatan spesies di pertanian. Kini, hal tersebut kian diperburuk oleh gelombang panas.
"Jika menggabungkannya dengan panas ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim, hal ini akan menciptakan kondisi unik yang tidak dapat dialami burung saat berevolusi. Pada dasarnya, ini adalah soal apakah anak burung dapat bertahan hidup atau tidak," kata Lauck.
Dikutip dari laman Scientific American, Senin (30/10/2023), Lauck yang merupakan kandidat doktor di bidang ekologi menjelaskan lebih lanjut soal temuan studi. Hasil itu didasarkan pada analisis terhadap 152.000 catatan sarang yang dikumpulkan oleh NestWatch.
Di program NestWatch besutan Laboratorium Ornitologi Cornell, sukarelawan setempat memantau sarang dan melaporkan tanda-tanda kesehatan dan perilaku burung menggunakan aplikasi online. Data mencakup hal-hal seperti jumlah telur yang dihasilkan, perilaku bersarang burung dewasa, dan aktivitas bayi burung.
Pendekatan tersebut memungkinkan para peneliti menilai kondisi 58 spesies burung di habitat seperti peternakan, hutan, padang rumput, dan kawasan lain. Temuan studi University of California Davis (UC Davis) sudah diterbitkan di jurnal Science.
Meski panas ekstrem amat berpengaruh, ancaman terhadap para bayi burung juga disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa di antaranya adalah hilangnya habitat, predator, kelangkaan makanan, dan banyaknya kemunculan bangunan yang dibangun manusia.
Profesor biologi di UC Davis yang memimpin pengumpulan data, Daniel Karp, menyampaikan bahwa suhu di lahan pertanian yang tidak memiliki naungan bisa 10 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan di hutan. Itu turut berpengaruh pada proses reproduksi hewan.
Alhasil, keberhasilan reproduksi hewan berkurang secara signifikan jika dibandingkan dengan hewan yang tinggal di kawasan hutan. Para ilmuwan mendefinisikan keberhasilan reproduksi adalah munculnya setidaknya satu anakan dari sarangnya setiap musim kawin.
Panas ekstrem berdampak pada berbagai spesies burung di semua tipe habitat. Namun, para peneliti menemukan bahwa spesies western bluebird dan burung layang-layang pohon lebih rentan terhadap panas ekstrem si pedesaan AS.
Peneliti juga menemukan bahwa burung yang tinggal di sarang terbuka dan kotak burung yang tidak teduh lebih rentan terhadap gelombang panas dibandingkan burung yang bersarang di lubang pohon dan tempat yang lebih teduh. Tren ini diamati di setiap wilayah pertanian AS.
"Hal ini menunjukkan bahwa spesies yang sudah mengalami penurunan populasi mungkin akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk membesarkan anak-anaknya karena gelombang panas terus terjadi dan semakin banyak lahan yang diubah menjadi pertanian," ujar Karp.
Temuan studi ini menambah deretan dampak perubahan iklim terhadap kerentanan populasi burung, yang menurut para ilmuwan merupakan indikator penurunan ekologi. Pada 2019, para ahli dari tujuh lembaga ornitologi besar dan organisasi nirlaba memperkirakan bahwa perkembangbiakan burung dewasa di Amerika Utara telah menurun sebesar 30 persen sejak tahun 1970. Kondisi itu mengakibatkan hilangnya hampir tiga miliar burung.