REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia telah mengacaukan siklus garam (salt cycle) Bumi dan itu bisa mengancam pasokan air minum, produksi tanaman, dan ekosistem, demikian menurut studi baru yang dipublikasikan di jurnal Nature Reviews Earth & Environment. Ini adalah pertama kalinya para ilmuwan mendokumentasikan sejauh mana manusia telah mengubah kadar garam di tanah, air, dan udara di seluruh dunia.
Para peneliti di Maryland dan empat negara bagian Amerika Serikat menemukan bahwa 2,5 miliar hektar tanah di seluruh dunia telah memiliki kadar garam yang lebih tinggi. Pada akhirnya, polusi garam menghadirkan ancaman eksistensial terhadap pasokan air tawar di dunia.
Penulis utama studi, Sujay Kaushal, mengatakan bahwa polusi garam dapat menimbulkan korosi pada pipa air minum dan memperburuk polusi timbal dalam pasokan air, seperti yang terjadi di Flint, Michigan.
“Saat pipa sudah terpapar timbal dan klorida berlebihan bisa berdampak pada kesehatan masyarakat, tidak terkecuali anak-anak. Mereka bisa memiliki kadar timbal yang tinggi dalam darah mereka,” kata Kaushal seperti dilansir Grist, Rabu (1/11/2023).
Sebelum peradaban manusia, garam berpindah ke permukaan bumi selama periode geologis yang panjang. Muncul ke permukaan ketika bebatuan hancur dan berputar melalui air dan udara, serta tersedia untuk hewan dan tumbuhan yang membutuhkannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa garam adalah kunci bagi perkembangan kehidupan di Bumi.
Namun proses tersebut telah dipercepat oleh industrialisasi. Salinisasi telah dipercepat oleh sejumlah faktor seperti irigasi, pengaspalan jalan, pertambangan, pengolahan air limbah, dan bahkan penggunaan barang-barang rumah tangga yang mengandung garam seperti deterjen.
Para peneliti mengamati berbagai jenis garam seperti kalsium dan magnesium, bukan hanya natrium klorida yang biasa dipakai bumbu dapur. Hasilnya, ditemukan begitu banyak garam, yang dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan serius atau tidak dapat dipulihkan di seluruh sistem Bumi.
Di daerah pesisir, kenaikan permukaan laut dapat menyebabkan air laut yang asin masuk ke dalam air tanah sehingga tidak dapat diminum. Di Amerika Serikat, akuifer di dekat garis pantai memasok air minum bagi 95 juta orang. Hanya dibutuhkan 2 atau 3 persen air laut untuk membuat air tanah menjadi tidak dapat diminum, dan menghilangkan garam dari air itu sulit dan mahal.
Munculnya debu garam di udara menimbulkan masalah yang berbeda untuk pasokan air. Karena garam dapat mengubah suhu pembekuan air, debu yang kaya garam ini dapat mempercepat pencairan salju, menurut penelitian tersebut. Karenanya, itu menimbulkan masalah bagi masyarakat yang bergantung pada tumpukan salju untuk pasokan air mereka, seperti banyak masyarakat di Amerika Serikat bagian barat.
AS dilaporkan menjadi kontributor terbesar untuk masalah ini, karena banyak yang membuang garam di jalan agar lebih aman saat berkendara selama musim dingin. Garam untuk jalan raya menyumbang 44 persen dari konsumsi garam di AS dari 2013 hingga 2017. Garam tersebut membantu mengurangi es di jalan, tetapi pada akhirnya garam tersebut mengalir dan mencemari sungai dan air minum.
Ada beberapa metode yang tersedia untuk mengurangi dampak lingkungan sekaligus membantu mencegah mobil tergelincir di jalan. Di Minnesota, negara bagian ini telah bereksperimen dengan “smart salting”, melatih pekerja untuk menggunakan garam tanpa membuang-buang garam dan mengurangi penggunaan garam sebesar 30 hingga 70 persen. Washington DC juga menggunakan air garam sari bit, dengan kandungan natrium yang lebih rendah daripada garam biasa.