REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antara bulan Agustus dan November 2020, 35 gajah afrika di barat laut Zimbabwe mati secara tiba-tiba. Sebelas dari hewan-hewan tersebut mati dalam kurun waktu 24 jam.
Pada tahun yang sama, sekitar 350 gajah di Botswana juga mati secara tiba-tiba dalam kurun waktu tiga bulan. Fenomena ini membingungkan para ilmuwan dan mendorong mereka untuk mencari jawabannya melalui penelitian terbaru.
"Mereka mati dalam rentang waktu yang sangat sempit. Itu salah satu bagian yang paling membingungkan dari keseluruhan teka-teki ini. Bahwa banyak hewan yang mati dalam waktu yang berdekatan tapi tidak bersebelahan dalam waktu yang sempit. Menurut saya, hal ini sangat unik, tentu saja di belahan dunia ini," kata salah satu penulis studi, Dr Chris Foggin, seperti dilansir Mens Journal, Kamis (9/11/2023).
Dalam prediksi awal, para pejabat dan ahli menyalahkan hal-hal seperti perburuan liar, keracunan, dan kekeringan sebagai penyebab kematian besar-besaran dari kawanan gajah. Namun studi terbaru ini mengungkap bahwa infeksi bakteri adalah penyebab kematian gajah-gajah di Zimbabwe. Bakteri bernama Pasteurella Bisgaard taxon 45 menyebabkan septikemia atau keracunan darah, pada hewan-hewan tersebut.
Ketika sumber makanan dan air mulai menyusut selama musim kemarau, bakteri dapat menyebar lebih mudah berkat panas dan kekeringan, menyebabkan komunitas gajah lebih sulit bertahan hidup.
Ketika planet ini terus memanas, fenomena kematian gajah bisa jadi akan menjadi lebih umum. Foggin mencatat bahwa penelitian ini tidak secara langsung mengaitkan kematian gajah dengan perubahan iklim, tetapi ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dan dapat memburuk jika suhu global terus meningkat.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi hal ini, tetapi mungkin saja di masa depan akan terjadi jika kita mengalami kekeringan yang lebih banyak dan berkepanjangan, atau pola curah hujan yang berubah dan kita mengalami musim kemarau yang lebih keras. Saya rasa jika itu yang terjadi, maka kita akan lebih mungkin melihat peristiwa kematian seperti ini terjadi lagi,” kata Foggin.
Temuan ini dipublikasikan dalam sebuah studi baru di jurnal Nature Communications.