REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap dua hingga tujuh tahun sekali, sebuah fenomena iklim yang dikenal sebagai El Nino-Southern Oscillation (ENSO) terjadi di Samudera Pasifik tropis. ENSO dikaitkan dengan perubahan tekanan udara dari timur ke barat, demikian dilaporkan Phys.org.
Peristiwa El Nino menyebabkan angin pasat barat yang bertiup di sepanjang khatulistiwa menjadi lebih lemah, yang menyebabkan perubahan kecepatan angin dan tekanan udara. Pola pergeseran ini menggerakkan air permukaan laut yang hangat ke arah pesisir Amerika Selatan dari Pasifik barat.
Di Amerika Selatan, bersamaan dengan El Nino, curah hujan menjadi lebih lebat dan lebih lama, yang meningkatkan ancaman banjir. Sementara itu, di Indonesia dan Australia, fenomena cuaca ini menyebabkan kekeringan yang menyebabkan masalah irigasi dan pasokan air. Kondisi ini saling bertukar posisi selama La Nina.
Sebuah studi baru menunjukkan bahwa ENSO sangat dipengaruhi oleh deforestasi di Benua Maritim (Maritime Continent/MC) yaitu wilayah antara Samudra Pasifik dan Samudera Hindia yang meliputi Kalimantan Indonesia, Kepulauan Filipina, Papua Nugini, dan Semenanjung Malaysia. Studi bertajuk “The Potential Influence of Maritime Continent Deforestation on El Niño-Southern Oscillation: Insights From Idealized Modeling Experiments” ini diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research Letters.
Ketika penggunaan lahan berubah secara dramatis, seperti dengan deforestasi, jumlah sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan planet ini berubah, dan proses alami evapotranspirasi juga berkurang. Kombinasi ini memiliki efek pemanasan pada lingkungan sekitar dan berdampak pada interaksi antara daratan, atmosfer, dan lautan, sehingga mengubah iklim lokal.
Tim peneliti melakukan simulasi deforestasi selama satu abad ke depan dengan menggunakan Community Earth System Model, dan mengubah pohon-pohon hijau berdaun gugur dan berdaun lebar menjadi rumput C4. Dengan melakukan hal tersebut, ternyata ENSO menjadi lebih kuat, dan kejadian-kejadian yang terkait menjadi lebih sering terjadi dan bergeser ke arah Pasifik tengah. Hal ini terjadi karena suhu permukaan laut musim dingin di garis lintang tengah memengaruhi atmosfer subtropis selama musim semi dan musim panas berikutnya, yang disebut mekanisme jejak musiman.
“Di sisi lain, tekanan udara yang turun di atas daerah tropis Pasifik barat memiliki efek menekan atmosfer yang tidak lazim pada suhu antara daratan dan lautan. Air yang lebih dingin menyebar ke arah kutub, menghasilkan pergeseran tekanan permukaan laut yang positif di Pasifik timur laut yang subtropis. Hal ini, menyebabkan kejadian ENSO yang lebih kuat,” kata para penulis penelitian seperti dilansir Eco Watch, Jumat (10/11/2023).
Karena diaktifkannya kembali mekanisme jejak musiman oleh tekanan tinggi atmosfer di Pasifik utara subtropis, kondisi La Nina dapat terjadi secara bersamaan selama bertahun-tahun berturut-turut, daripada bergantian dengan El Nino
Para peneliti mengatakan bahwa kejadian La Nina yang terjadi beberapa tahun berturut-turut lebih mungkin terjadi dalam beberapa dekade mendatang jika deforestasi terus berlanjut, dengan laju 13,8 persen, menurut hasil simulasi. Model tersebut juga menunjukkan bahwa kejadian El Nino memiliki kemungkinan 11,7 persen lebih besar untuk terjadi akibat deforestasi, sementara kejadian La Nina memiliki kemungkinan 14,6 persen lebih besar.
"Studi kami memperkuat penelitian sebelumnya, dengan menunjukkan bahwa deforestasi di Benua Maritim dapat berkontribusi pada meningkatnya kompleksitas ENSO dengan meningkatkan signifikansi dinamika ENSO subtropis," tulis para peneliti.
Pergeseran kejadian ENSO multi-tahun yang lebih sering terjadi menimbulkan kekhawatiran bahwa masyarakat tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan diri. “Meskipun eksperimen deforestasi kami bersifat ideal dan tidak realistis, namun eksperimen ini menunjukkan kemungkinan bahwa deforestasi di Benua Maritim dapat meningkatkan kompleksitas El Nino, membuat kejadian El Nino menjadi lebih kompleks dan lebih sulit untuk diprediksi," kata peneliti.