Jumat 17 Nov 2023 23:12 WIB

Kemerdekaan Pers dan Bisnis Media

Kemerdekaan pers harus dijaga di tengah situasi menuju Pemilu 2024.

Ilustrasi jurnalis membuat reportase dengan mewawancarai seorang narasumber.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Ilustrasi jurnalis membuat reportase dengan mewawancarai seorang narasumber.

Oleh : Atika Suri, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan berlakunya kemerdekaan pers yang ada di Indonesia dan diakuinya salah satu fungsi pers sebagai lembaga ekonomi, mendorong pelaku usaha untuk berbisnis di bidang media massa yang kemudian berpengaruh pada munculnya konglomerasi media di Indonesia.

Para pemilik media ini tentu memiliki power untuk menentukan konten yang akan disajikan kepada masyarakat. Dengan adanya konglomerasi media, tidak ada keberagaman kepemilikan media sehingga secara otomatis menimbulkan tidak menimbulkan adanya keberagaman konten. 

Baca Juga

Dalam pasal 2 butir 1 dan 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, disebutkan bahwa pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Adanya fungsi ekonomi dari pers sebagai media massa ini secara otomatis membuka peluang bagi pelaku usaha untuk berbisnis di bidang ini.

Namun beberapa pelaku bisnis media ini rupanya tak puas hanya memiliki satu media saja, kemudian mendirikan beberapa media yang dimilikinya sendiri sehingga kemudian muncullah istilah konglomerasi media. Konglomerasi media adalah penggabungan/ pemusatan perusahaan-perusahaan (baik yang bergerak di bidang media maupun non-media) menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak perusahaan (media massa/non-media massa)

Stasiun-stasiun televisi baru mulai bermunculan sejak tumbangnya Orde Baru. Pada waktu yang sama, korporasi-korporasi media juga sudah mulai terbentuk. Perkembangan berdirinya berbagai macam industri media yang berada di Indonesia ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang reformasi.

Pada masa sebelumnya yaitu era Orde Baru yang dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, industri media dianggap sebagai wadah yang dapat memaparkan keburukan pemerintah sehingga tidak jarang perusahaan pers yang memberitakan tentang pemerintah menemui “ajalnya” hingga berujung pada pencabutan Surat Izin Usaha Penebitan Pers (SIUPP) atau yang lebih dikenal dengan pembredelan. Ancaman pembredelan sering menghantui media/pers, bila terjadi pemberedelan tanpa melalui proses peradilan.

Pada 2014, menurut Satrio Arismunandar telah terbentuk tiga kelompok korporasi media. Kelompok yang pertama yaitu PT Media Nusantara Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo yang membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), dan Global TV (PT Global Informasi Bermutu). Kemudian kelompok kedua berada di bawah PT Bakrie Brothers (Group Bakri) yang dimiliki oleh Anindya N Bakrie. Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang kini berbagi saham dengan STAR TV (News Corp, menguasai saham 20%) dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TvOne. Kelompok ketiga adalah PT Trans Corpora (Group Para). Grup ini membawahi Trans TV (PT Televisi Trasnformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh).

Seiring berjalannya waktu, konglomerat media justru semakin bertambah ditengah persaingan industri media di era digital ini. Saat ini setidaknya ada delapan perusahaan media besar yang berkuasa di Indonesia, diantaranya CT Corp milik Chairul Tanjung; Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo; EMTEK milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja; Visi Media Asia milik Bakrie Group; Media Group milik Surya Paloh; Berita satu Media Holding milik Keluarga Riady; Jawa Pos milik Dahlan Iskan; dan Kompas Gramedia milik Jakoeb Oetama.

Meskipun adanya konglomerasi media ini diizinkan oleh pemerintah, mengingat salah satu fungsi pers sebagai media massa adalah untuk ekonomi, hal ini tetap saja menimbulkan kekhawatiran akan membawa dampak negatif terhadap perkembangan sistem media di Indonesia dan juga dikhawatirkan akan berdampak pada isi konten yang ditampilkan dan disampaikan kepada masyarakat. Hal ini karena secara otomatis pemilik media memiliki power terhadap pemilihan konten apa saja yang akan ditayangkan di media yang mereka miliki.

Dampak lain yang dapat ditimbulkan ketika media-media besar hanya dikuasai oleh beberapa kelompok besar adalah terpicunya persaingan antarmedia yang pada akhirnya memunculkan komersialisasi media. Dengan adanya komersialisasi media, media tentu akan lebih mengutamakan sisi komersial daripada mendidik, menginformasikan, atau melakukan kontrol sosial.

Kekuasaan seseorang di media massa semakin besar ketika terjadi konvergensi atau penggabungan kepemilikan dari berbagai jenis media digital ke dalam suatu media tunggal seperti media cetak, radio, dan televisi. Hal ini dapat dilihat dari salah salah satu media besar seperti MNC Group yang melakukan konvergensi dimana mereka memiliki koran Seputar Indonesia (SINDO), radio Sindo, program berita di RCTI, dan berbagai produk media lainnya yang mereka miliki. Jika pemilik media tersebut bergabung di suatu Partai Politik bahkan menjabat sebagai pihak yang berperan penting seperti Ketua Umum Parpol, maka dapat dibayangkan bagaimana mereka menggunakan media-media massa yang mereka miliki untuk kepentingan politik pribadi dan partainya.

Saverin dan Tankard mencermati, fenomena ini bukan hanya masalah umum korporasi atas adanya merger ataupun akusisi, tetapi lebih lanjut terdapat fenomena ekonomi politik yang melibatkan kuasa dan kekuatan. Pemilikan media bukan hanya berkutat pada masalah produk semata. Tetapi juga tentu terkait dalam urusan pemetaan, gambar, berita, pesan dan teks sosial yang dikendalikan dan disebarkan kepada publik.

Ungkapan Severin dan Tankard dibenarkan oleh Meier bahwa persoalan kepemilikan media tidak dapat terpisah pandang dengan kajian ekonomi politik. Pemilikan media mempunyai makna penting untuk melihat bagaimana peranan, ideologi, kandungan media dan kesan media terhadap masyarakat.

Dengan demikian dapat diketahui konglomerasi media memiliki peran yang cukup signifikan dalam membantu pemilik untuk melakukan kampanye yang harapannya nanti akan membuat mereka meraih banyak suara di Pemilihan Umum. Hal ini dikarenakan konglomerasi media dapat melemahkan fungsi kontrol media, terutama terkait kepentingan pemilik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement