Oleh : Erdy Nasyrul, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta, wartawan Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Abad ke-21 merupakan tantangan bisnis media massa. Kemajuan teknologi yang kini berupa digitalisasi meniscayakan kebanyakan individu mengakses internet dan berselancar di dalamnya hanya dengan gadget yang mereka pegang.
Ini merupakan fenomena dan budaya baru yang menghadirkan kemudahan setiap orang untuk saling terhubung, cepat mendapatkan informasi, dan praktis melakukan transaksi. Dalam situasi demikian, bagaimana dengan media massa?
Sejak lima abad lalu, informasi disampaikan dalam bentuk cetak yang ditandai dengan penemuan dan penerapan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Prancis. Saat itu, berbagai kabar berseliweran melalui lembaran berisikan kabar yang disebarluaskan kepada khalayak. Kemudian bergulir menjadi perbincangan dari mulut ke mulut.
Menginjak abad ke-19 dan seterusnya, bentuk media massa menemukan bentuk lain, yaitu berupa suara dan audio visual yang dipancarkan melalui frekuensi pemerintah. Kemudian diakses banyak orang secara serentak dalam satu waktu.
Bisnis media massa dalam format audio visual menjadi yang paling menguntungkan ketika itu. Ini merupakan bisnis yang menghasilkan pundi–pundi uang yang meningkatkan derajat pemiliknya menjadi konglomerat.
Kemudian mereka mengembangkan bisnis medianya. Tidak sekadar stasiun televisi, tapi juga cetak berupa koran, majalah, dan radio. Mereka menjadi pengusaha yang bermain dengan konvergensi media, suatu istilah yang menggambarkan proses spatialisasi ala Vincent Mosco, suatu proses yang menunjukkan berbagai kabar dapat diterima orang di berbagai kawasan dan waktu yang berbeda.
Saat ini, konvergensi media tak sekadar keragaman berupa cetak dan penggunaan frekuensi pemerintah (terestrial). Kini semuanya menggunakan akses internet sehingga menjadi terdigitalisasi.
Koran yang semula hanya berbentuk cetak kini menjadi koran online berupa e-paper. Radio dan televisi yang semula terestrial, sekarang juga live streaming melalui berbagai situs seperti Youtube, Spotify, Dailymotion, dan sejenis ketiganya.
Di era digital semacam itu, internet mengalami banjir konten. Berbagai informasi tersaji di berbagai situs. Terkesan seperti mengulang-ulang atau redundant, bahkan yang lebih parah lagi adalah plagiasi.
Baca juga: Sungai Eufrat Mengering Tanda Kiamat, Bagaimana dengan Gunung Emasnya?
Masing-masing pengelola situs beradu kecepatan. Yang lebih dulu mengunggah konten, terlebih yang lengkap, maka dialah yang banyak dibaca. Sebaliknya, mereka yang terlambat, terlebih informasi yang disampaikan sekadar mengulang kabar yang sudah terunggah sebelumnya, maka sudah pasti ditinggal pembaca. Traffick akan anjlok dan berdampak akan ditinggal pengiklan.
Tidak sekadar berlomba-lomba untuk cepat. Dengan alasan traffick dan berburu viewer, sejumlah oknum tak bertanggung jawab berbuat nakal dengan mengunggah kontek dusta atau hoaks.
Kementerian Komunikasi...