Senin 20 Nov 2023 10:27 WIB

Ketidakadilan Media Sosial Terhadap Palestina

Platform media sosial sudah sepatutnya ikut mengecam eksistensi rezim apartheid.

   Para pengunjuk rasa berteriak
Para pengunjuk rasa berteriak

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Wartawan Republika, Hasanul Rizqa

 

Sejak awal popularitasnya pada 2004, media sosial menimbulkan semacam harapan baru. Sebab, platform yang menggunakan jaringan internet ini hadir dengan membawa keunikan-keunikan tertentu bila dibandingkan dengan media massa (konvensional). 

Sebagai contoh, media sosial memudahkan setiap orang—yang memiliki akses internet—untuk membagikan informasi yang dikehendakinya kepada publik. Pemirsa atau pembacanya bukan hanya mereka yang tinggal satu daerah atau negara dengannya, tetapi juga khalayak global.

Memang, media massa juga memanfaatkan jaringan internet untuk memperluas sasaran penerimanya. Bagaimanapun, informasi yang dihasilkan sebuah media massa sering kali harus melalui beberapa tahap “penyaringan” terlebih dahulu sebelum sampai kepada publik. Proses yang terjadi biasanya dilakukan editor terhadap laporan reporter di lapangan dan, bila perlu, arahan dari pemilik perusahaan—baik terucap maupun tidak—agar media massa menyiarkan atau tidak menyiarkan informasi tertentu.

“Penyensoran” seperti yang terjadi pada media massa membuat tinggi harapan publik terhadap media sosial. Sekalipun wajah sensor akan tetap ada, tetapi dalam pelbagai platform media sosial hal itu dinamakan selayaknya sebuah “kesepakatan bersama” antarwarganet: “community guidelines” atau “pedoman komunitas.” Dengan demikian, antara pengguna dan pengelola media sosial secara tersirat menyepakati hal-hal yang memang tidak boleh tersebar melalui platform tersebut, semisal tayangan bunuh diri, praktik penipuan, ketelanjangan dan seksual, serta peniruan identitas.

Sayangnya, dalam kasus penjajahan Israel atas Palestina, berbagai pengelola media sosial cenderung semena-mena dalam menerapkan penyensoran yang belum tentu sejalan dengan “pedoman komunitas” masing-masing. Hal itu dapat kita amati, misalnya, sejak serangan Zionis yang brutal terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023 hingga detik ini. 

Seperti dilansir Kari Paul dalam laman The Guardian pada 18 Oktober 2023, sejumlah pengguna menuding Instagram telah secara sengaja menyensor tayangan-tayangan mereka yang membela Palestina. Hena Mustafa, seorang pengguna Instagram dengan 866 pengikut yang berbasis di New York City, mengatakan, dirinya mulai membuat konten tentang perkembangan di Palestina sejak Israel menyerang pada 7 Oktober 2023. Namun, ia kemudian menyadari, stories yang dibuatnya mendapatkan penayangan yang jauh lebih sedikit daripada konten-konten lain yang dibuatnya dengan tema non-Palestina. 

“Teman dan pengikutnya telah mengirim pesan kepada Mustafa untuk memberitahunya bahwa postingan-nya tidak lagi muncul di bagian atas feed Instagram mereka, namanya tidak dapat dicari di jejaring sosial, dan mereka tidak dapat berinteraksi dengan postingan-nya,” tulis Kari Paul.

Bukan hanya Mustafa, melainkan ratusan pengguna Instagram yang pro-Palestina pun mengalami hal serupa. Menurut Nadim Nashif, pendiri dan direktur kelompok pengawas media sosial 7amleh, pihaknya telah melacak akar masalah ini. Ia mencurigai bahwa Instagram melakukan “shadowban” (pelarangan bayangan), yakni upaya pembatasan distribusi yang dilakukan pemilik platform media sosial untuk mencegah pengguna menyalahgunakan atau melanggar “pedoman komunitas”. 

Imbasnya, konten-konten yang dibuat seorang pengunggah, dalam hal ini: yang pro-Palestina, akan sulit ditemukan semua orang—bahkan termasuk para pengikutnya (followers)—dan itu terjadi tanpa sepengatahuan si pengunggah. Dugaan lainnya, lanjut Nashif, Instagram menurunkan konten yang terkait dengan serangan Israel ke Gaza dalam algoritma banyak pengguna platform tersebut.

“Sayangnya, shadowban hanyalah salah satu dari banyak cara kita melihat konten Palestina dibungkam dan disensor selama sepekan terakhir (satu pekan sejak dimulainya serangan Israel ke Gaza –Red). Di saat krisis, kami melihat lonjakan yang signifikan. Warga Palestina dan para pendukungnya melaporkan jangkauan terbatas dan kesalahan pada konten yang mereka posting tentang krisis yang sedang berlangsung di Palestina," ujar Nashif.

Dalam rilisnya, Meta selaku perusahaan yang memiliki Instagram mengeklaim tidak pernah berniat untuk “menekan” komunitas atau sudut pandang tertentu agar jangan tersiarkan melalui platformnya. Namun, lanjut Meta, meningkatnya jumlah konten yang dilaporkan terkait situasi yang ada (serangan Israel ke Gaza) menyebabkan “konten yang tidak melanggar kebijakan kami (“pedoman komunitas”) mungkin dihapus karena kesalahan.” Meta juga mengaitkan soal ini dengan “kesalahan dalam sistem moderasi algoritma” sehingga mengurangi jangkauan postingan “secara merata di seluruh dunia” – apa pun subjeknya.

Namun, Nashif mengingatkan, Meta pernah menyampaikan dalih yang serupa pada Mei 2001 lalu, ketika eskalasi serangan Israel ke Palestina meningkat. Insiden itu memicu adanya surat yang ditandatangani oleh lebih dari 200 karyawan Meta. Mereka menuntut perusahaan mengatasi kekurangan tersebut. “Analisis independen berikutnya yang dilakukan oleh Meta menemukan bahwa jejaring sosial tersebut telah melanggar hak asasi manusia Palestina dengan menyensor konten yang terkait dengan serangan Israel di Gaza,” tulis Paul.

Kasus menyusutnya jangkauan konten-konten yang pro-Palestina pun terjadi di Tanah Air. Ustaz Salim A Fillah memiliki akun Instagram resmi (berbintang biru) dengan pengikut sekurang-kurangnya satu juta orang. Sejak mengganasnya serangan Israel ke Gaza, setiap hari akun milik dai asal Yogyakarta itu menyiarkan konten-konten tentang perjuangan Hamas dan derita warga Palestina yang tempat tinggalnya dibombardir tentara Zionis. Dan, pada 20 November 2023, akun tersebut secara sepihak ditahan (suspended) Meta dengan alasan “terlalu banyak aktivitas di akun @salimafillah tidak mengikuti ‘pedoman komunitas.’”

Bukan hanya Meta. Platform-platform lain pun pernah melayangkan pembatasan tayangan serupa hanya karena pembuat kontennya menyiarkan hal-hal yang pro-Palestina. Republika sendiri pernah mengalaminya ketika pada Ahad, 5 November 2023 lalu menyiarkan aksi bela Palestina di Silang Monas, Jakarta, secara live streaming via TikTok. Baru beberapa saat mengudara, tiba-tiba live streaming tersebut diputuskan secara sepihak oleh TikTok. Dalam keterangannya, TikTok menulis pemutusan sepihak tersebut karena akun Republika dianggap melakukan pelanggaran. "Perilaku dan ujaran kebencian," tulis pernyataan Tiktok.

Di jagat X (sebelumnya dikenal dengan nama Twitter), penyensoran juga mendera dan bahkan pada taraf yang menggelikan. Slogan “from the river to the sea, Palestine will be free” yang sering disuarakan warga dunia pro-Palestina dianggap sebagai pernyataan anti-Yahudi (antisemitic). Berbagai media pro-Yahudi semisal Jewish News di London mengeklaim bahwa slogan tersebut juga sering diucapkan Hamas dan “tidak ada keraguan bahwa Hamas mendukung nyanyian ‘from the river to the sea’ karena (menginginkan wilayah) Palestina dari Sungai (Jordan) ke laut (Mediterania) berarti tidak menyisakan satu inci pun bagi (wilayah) Israel.”

Klaim di atas amat sangat menggelikan karena pada faktanya toh Israel-lah yang tidak menginginkan eksistensi Palestina. Permukiman Yahudi (Jewish settlement) dan Aliyah yang dilakukan Israel dari tahun ke tahun, dekade ke dekade, sejak 1948 hingga detik ini merupakan bukti telak untuk itu. Kemudian, klaim bahwa Baitul Makdis (Yerusalem) sebagai ibu kota Israel dengan amat terang benderang menunjukkan, Israel tidak pernah berniat mewujudkan “solusi dua negara” (two-state solution). 

Dan bila dua hal itu masih belum meyakinkan, coba lihat lagi Undang-Undang (UU) Negara Bangsa Yahudi yang disahkan parlemen Israel (Knesset) pada Juli 2018—juga dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung setempat pada Juli 2021. Adanya UU tersebut menjadi jalan bagi Israel untuk memproklamasikan entitasnya sebagai “tanah air bangsa Yahudi”, di samping deklarasi Yerusalem sebagai ibu kotanya. UU yang sama juga menyingkirkan bangsa Arab dari wilayah Israel, secara politik maupun sosial-budaya. Padahal, sekira 1,8 juta atau 20 persen dari total populasi Israel adalah bangsa Arab.

Pada 18 November 2023, pemilik media sosial X, Elon Musk, melalui akun resminya menyebut bahwa bukan hanya slogan “from the river to the sea”, melainkan juga “dekolonisasi” (decolonization) menyiratkan dukungan terhadap genosida. Artinya, dengan menyuarakan dua perkataan itu di jagat X, maka siapapun secara tersirat mendukung genosida Israel atau bahwa Israel terhapus dari muka bumi. 

Sebagai respons, banyak pengguna X yang kemudian mengganti “from the river to the sea” dengan “from the Jordan to the coast, apartheid will be toast.” Di satu sisi, itu menunjukkan sebuah satire yang jitu terhadap kesewenang-wenangan X yang terkesan tebang pilih dalam mendefinisikan “genosida”. Di sisi lain, “from the Jordan to the coast, apartheid will be toast” menegaskan sekali lagi kepada dunia bahwa yang dilakukan Israel tak ubahnya pemerintahan Afrika Selatan pada 1950-1990 atau Amerika Serikat pada masa sebelum Perang Sipil (1865). 

Maka, dalam dunia hari ini yang kian canggih dengan adanya internet, diseminasi informasi global yang begitu cepat dan masif, platform-platform media sosial sudah sepatutnya ikut mengecam eksistensi rezim apartheid, semisal yang dilakukan Israel. Menegakkan “community guidelines” atau “pedoman komunitas” dengan seadil-adilnya adalah tindakan paling minimal yang semestinya mereka lakukan—kalau memang “tidak sanggup” mendukung kemerdekaan Palestina dari kolonialisme Israel.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement