REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengusulkan klausul terkait perdagangan karbon untuk masuk dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, Arifin mengatakan perdagangan karbon perlu masuk dalam RUU EBT karena sebagai landasan hukum yang mengikat untuk pelaksanaan perdagangan karbon. Apalagi, saat ini Indonesia telah memiliki bursa karbon yang diharapkan bisa mendorong industri dan pelaku usaha berupaya bersama dalam mereduksi emisi.
"Kami mengusulkan perdagangan karbon masuk dalam RUU EBT. Kami menilai, hal ini sebagai salah satu upaya pengurangan emisi karbon," kata Arifin dalam RDP, Senin (20/11/2023).
Arifin mengatakan nantinya mekanisme perdagangan karbon, lalu penimbangan emisi karbon hingga pungutan karbon akan diatur lebih lanjut. Namun, untuk bisa mendukung aturan lebih lanjut tersebut diperlukan payung hukum yang lebih besar melalui RUU EBT ini.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto sependapat dengan Arifin. Menurutnya, lewat perdagangan karbon maka target negara untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca bisa tercapai. "Ini merupakan bagian dari transisi energi," kata Sugeng
Di satu sisi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai akumulasi dari transaksi bursa karbon hingga 26 September kemarin mencapai Rp 29,45 miliar. Dari total pengguna jasa yang telah mendapatkan izin mencapai 24 pengguna dengan total volume setara dengan 464.843 ton setara karbon dioksida (CO2).