REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana loss and damage (L&D) menjadi topik perbincangan yang cukup mengemuka saat ini sejalan dengan prediksi akan makin meningkatnya ancaman bencana iklim di masa-masa mendatang dan batas adaptasi telah tercapai. Ketika lahan telah hilang akibat naiknya permukaan air laut, ketika kekeringan telah mengubah lahan pertanian dan kehilangan sumber pangan.
Dengan kata lain, perubahan iklim akan menimbulkan kerugian dan kerusakan baik secara fisik atau materi, maupun non-fisik sebagai akibat dari kegagalan upaya mitigasi dan adaptasi. Beberapa pekan menuju negosiasi iklim PBB ke-28 (COP 28), Komite Transisi akhirnya mencapai serangkaian rekomendasi mengenai rancangan dana L&D yang sementara di administrasi oleh Bank Dunia.
Country Engagement Manager Yayasan Humanis (afiliasi Hivos), Arti Indallah, mendorong dana L&D yang independen dan didanai secara memadai. Ia juga menekankan pentingnya struktur tata kelola demokratis dan mekanisme yang kuat untuk keterlibatan perempuan, masyarakat adat dan komunitas rentan lainnya serta organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, ia juga mendesak agar negara-negara maju dan pencemar besar untuk ikut bertanggung jawab dan memenuhi kewajiban mereka terkait dana Loss and Damage.
“AS, Uni Eropa, negara-negara utara, dan pencemar besar lainnya seperti produsen minyak dan gas seperti UAE dan Saudi Arabia secara historis bertanggung jawab atas krisis iklim, sehingga harus memenuhi kewajiban mereka untuk membayar bagian yang adil atas kerugian dan kerusakan iklim yang terjadi di negara berkembang yang berkontribusi kecil terhadap emisi,” kata Arti dalam diskusi media di Cikini, Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Moh Taqiuddin dari C4Ledger-SSN, menambahkan bahwa dana Loss & Damage harus dapat menjangkau tingkat komunitas lokal, dimana pada perencanaan dan sejarah Bank Dunia yang ada sekarang belum terlihat adanya struktur tersebut. Ia juga mendorong dana L&D prosesnya harus bisa lebih sederhana, cepat, fleksibel, dan memperhatikan kehilangan budaya, pengetahuan dari kelompok rentan dan masyarakat adat ketika menilai kerusakan karena krisis iklim.
Menurut dia, Indonesia juga perlu mendorong L&D untuk menjadi perhatian utama apalagi jika dikaitkan dengan tingginya jumlah komunitas yang tergolong rentan terhadap ancaman bencana iklim baik sifatnya rapid-onset maupun slow-onset.
“Karena itu, penyiapan tata kelola di tingkat negara agar dana bisa menjangkau kelompok rentan serta pemahaman komprehensif tentang jenis ancaman bencana iklim beserta karakteristiknya, tingkat kerentanan, dan kapasitas termasuk historis kejadian bencana di suatu wilayah sangat diperlukan,” ujar dia.