REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Pratiwi Utami, PhD* & Fathiyyah Maryufani, PhD**
Media sosial telah dianggap sebagai arena publik yang memberikan kebebasan berekspresi bagi para penggunanya. Namun, paradoks muncul ketika platform media sosial menerapkan moderasi yang diskriminatif terhadap konten-konten tentang konflik Israel-Palestina. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang terbuka untuk bicara justru membuat suara pendukung Palestina sulit tersebar.
Elon Musk, pemilik platform X, misalnya, menyatakan bahwa penggunaan kata "decolonization" dan kalimat "from the river to the sea" dilarang beredar di platform tersebut, karena dianggap merujuk pada tindakan genosida. Akibatnya, unggahan di X yang menggunakan kata atau kalimat itu akan dihapus oleh sistem. Instagram juga tidak luput dari praktik moderasi yang kontroversial. Banyak pengguna mengalami shadow ban (pembatasan distribusi dan visibilitas konten) karena telah membagikan konten pro-Palestina.
TikTok, platform yang digemari Generasi Z, juga turut serta melakukan moderasi yang bias terhadap konten. Dengan dalih menghindari ujaran anti-Semit, platform ini telah menghapus lebih dari 925 ribu konten yang mengandung pesan dukungan terhadap Hamas dan mengecam kebijakan Israel.
Moderasi sepihak ini merupakan bagian dari upaya Israel untuk membungkam Palestina. Forbes memberitakan, pihak Israel telah meminta platform-platform besar seperti Meta dan TikTok untuk menghapus 8.000 konten yang dianggap berkaitan dengan konflik di Palestina. Kebijakan ini memicu kecurigaan di kalangan pengguna akan keberpihakan perusahaan pemilik platform media sosial. Sebab, moderasi sepihak telah banyak merugikan pendukung Palestina dan menguntungkan Israel.
Di tengah tekanan dari platform media sosial, muncul respons dari para pengguna media sosial yang pendukung Palestina. Para pengguna media sosial (warganet) menciptakan konten yang mengelabui algoritma, memanfaatkan fitur khas platform, dan berbagai taktik kreatif lainnya untuk memastikan pesan mereka tetap terdengar di tengah ketatnya moderasi yang diterapkan oleh platform.
Resiliensi melawan represi
Pendekatan represif platform media sosial terhadap konten yang mendukung Palestina mendapat respons kreatif dari para pengguna. Akun TikTok @puspaindhh mengunggah video yang menampilkan dirinya sedang berjoget sambil menunjukkan dukungan terhadap Palestina. TikTok, yang sering menampilkan orang berjoget sambil merespons isu aktual, menjadi wadah dinamis untuk menyuarakan pandangan dan ikut serta dalam pembicaraan terkini. Dengan gerakan tari yang disesuaikan dengan konteks “memilih Israel atau Palestina”, pemilik akun @puspaindhh sedang berpartisipasi secara kreatif dalam diskusi tentang konflik Israel-Palestina.
Konten ini kemudian dibagikan lintas platform untuk meningkatkan visibilitasnya. TikTok memang menyediakan fitur berbagi lintas platform. Video yang diunggah di TikTok dapat dibagikan ke berbagai platform media sosial dan pesan seperti Instagram, Facebook, Messenger, dan WhatsApp. Ini membuat konten dukungan terhadap Palestina tetap dapat terlihat di berbagai platform meskipun TikTok, bersama dengan Facebook dan Instagram, melarang konten yang mempromosikan Hamas.
Di Instagram, pengguna asal Indonesia yang mendukung Palestina melakukan strategi lain untuk melawan moderasi algoritma platform ini. Warganet Indonesia secara massal mengunjungi akun Instagram anggota Israel Defense Forces (IDF) dan pendukung kebijakan genosida Israel, meninggalkan komentar penuh kecaman di akun-akun tersebut. Menamai gerakan ini sebagai Operasi Julid Fi Sabilillah, warganet melaporkan akun-akun pendukung Israel ke pengelola Instagram dengan alasan menyebarkan hate speech. Akun @greschinov di platform X bahkan merilis daftar akun media sosial anggota IDF dan mengajak warganet mengecam, memblok, atau melaporkan akun-akun tersebut beramai-ramai.
Tindakan ini dilakukan dengan harapan akun-akun anggota IDF dan pendukung Israel diidentifikasi sebagai ancaman bagi Komunitas Instagram dan akun-akun tersebut ditutup. Jadi, jika sebelumnya algoritma Meta mengklasifikasikan suara-suara pro-Palestina sebagai hate speech, warganet Indonesia memanfaatkan alasan yang sama untuk melaporkan konten pendukung Israel. Warganet Indonesia melawan pembungkaman sistematik (systemic silencing) yang dilakukan platform media sosial dengan memanfaatkan senjata yang sama yang sebelumnya digunakan untuk menekan suara mereka.
Menakar dampak aksi akar rumput
Aksi warganet di TikTok dan Instagram muncul secara organik tanpa mobilisasi dan pengaruh institusional. Strategi ini muncul secara kolaboratif, didorong oleh semangat solidaritas dalam menuntut kebebasan Palestina. Aksi ini juga merupakan ekspresi protes terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh Meta, perusahaan pemilik Instagram. Sejak agresi balas dendam Israel terhadap Hamas di Gaza pada 7 Oktober 2023, Meta telah membatasi konten Palestina secara berlebihan. Di saat yang sama, Meta membiarkan akun pro-Israel menyebarkan misinformasi dan kebencian terhadap Palestina secara bebas. Moderasi yang dilakukan Meta tidak hanya mencederai hak digital pengguna, tetapi juga mengkhianati rasa keadilan.
Dalam aktivisme, represi dari pihak dominan selalu muncul dengan tujuan mempertahankan posisinya. Dalam konteks aktivisme pembebasan Palestina dari penjajahan Israel, tindakan platform media sosial memoderasi konten secara sepihak adalah bentuk represi ini. Sejauh mana represi ini memengaruhi jalannya aktivisme akan tergantung pada strategi yang diambil oleh para pelaku aktivisme itu sendiri. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa ketika digerakkan oleh satu misi yang sama, aktivisme dapat terus bergerak meski berada di bawah tekanan. Pendukung aktivisme akan selalu menemukan celah untuk menghindari peraturan-peraturan yang tidak transparan dari pemilik platform media sosial.
Zeynep Tufekci dalam bukunya “Twitter and Tear Gas” menjelaskan ada tiga kapasitas yang harus dimiliki aktivisme sosial agar dapat mencapai perubahan, yaitu kapasitas naratif (narrative capacity), kapasitas gangguan (disruptive capacity), dan kapasitas institusional (institutional capacity). Kapasitas naratif adalah kemampuan aktivisme menciptakan narasi yang menarik dan beresonansi dengan masyarakat, sedangkan kapasitas gangguan adalah kemampuan untuk mengguncang status quo. Terakhir, kapasitas institusional adalah kemampuan aktivisme memengaruhi proses kerja institusi.
Aksi warganet mungkin tidak berdampak langsung pada upaya pembebasan Palestina. Namun, konten kreatif di TikTok berhasil menciptakan narasi kemenangan suara pro-Palestina di platform ini. Video dengan tagar "#standwithpalestine" memiliki 4 miliar tayangan, sementara video "#standwithisrael" hanya sekitar 500 juta. Merespons ini, Jeff Morris Jr, mantan eksekutif Tinder, menyatakan dalam unggahannya di X bahwa "Israel kalah dalam perang TikTok".
Sementara itu, serangan warganet pada akun Instagram milik anggota IDF berhasil menghambat aktivitas online para pendukung genosida Israel tersebut. Sejumlah anggota IDF yang diserang oleh warganet Indonesia menyatakan merasa terganggu dan kesal karena akunnya dilaporkan ke Instagram sebagai akun yang membahayakan Komunitas. Republika merilis, akibat kritik warganet Indonesia, akun @edensisson dan beberapa akun tentara IDF lainnya diubah menjadi private untuk menghindari serangan di kolom komentar. Beberapa akun tentara IDF bahkan sudah tidak aktif lagi.
Kedua kapasitas yang ditunjukkan oleh aksi-aksi warganet di atas menjelaskan bahwa resistensi dapat menjadi kekuatan untuk merespons dan mengatasi tantangan bagi aktivisme online. Konten kreatif dan kolaboratif warganet memperlihatkan kepada kita bagaimana wajah aktivisme di media sosial ketika berada di bawah bayang-bayang moderasi. Di sini, warganet Indonesia berusaha melawan balik moderasi berbasis algoritma, menciptakan dinamika menarik dalam aktivisme pembebasan Palestina melalui media digital.
*: Peraih gelar PhD dari School of Media, Film, and Journalism, Monash University Australia; Peminat Topik Media Sosial
**: Peraih gelar PhD dalam Ilmu Politik dari University of Nebraska-Lincoln; Dosen Ilmu Komunikasi UPI Bandung