REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari 20 negara yang bergantung pada pendapatan minyak dan gas dapat mengalami penurunan pendapatan hingga 60 persen akibat transisi ke energi terbarukan. Hal ini bisa memicu konsekuensi yang sangat buruk bagi para pekerja dan pemerintah di negara-negara tersebut, tanpa dukungan internasional untuk membantu mengelola transisi dari bahan bakar fosil.
"Banyak dari negara-negara ini yang cukup rapuh. Kehilangan sumber utama pendapatan mereka akan memiliki implikasi yang cukup berbahaya bagi mereka di dalam negeri,” kata Guy Prince dari Carbon Tracker, sebuah think tank di Inggris.
Prince dan rekan-rekannya meneliti bagaimana transisi energi akan mempengaruhi 40 negara petro-state yang mengandalkan pendapatan minyak dan gas untuk menyeimbangkan anggaran mereka. Di hampir separuh dari negara-negara ini, minyak dan gas menghasilkan lebih dari 40 persen pendapatan pemerintah, dan beberapa di antaranya bahkan sangat bergantung pada minyak dan gas. Di Venezuela, Irak, dan Turkmenistan, minyak dan gas menyumbang hampir 100 persen pendapatan pemerintah.
Dalam transisi yang cukup cepat ke energi bersih berdasarkan janji yang sudah ada dari negara-negara tersebut, para peneliti menemukan bahwa 28 negara petro-state akan kehilangan lebih dari setengah pendapatan minyak dan gas mereka pada tahun 2040, yang mengarah pada penurunan kolektif sebesar 8 triliun dolar AS. Transisi yang lebih cepat akan memberikan dampak yang lebih besar.
Sembilan dari negara-negara ini sangat rentan, dan akan kehilangan lebih dari 60 persen dari total pendapatan mereka dari sektor minyak dan gas pada tahun 2040. Lima dari negara-negara tersebut berada di Afrika, termasuk Nigeria, yang memiliki populasi lebih dari 200 juta orang.
Para peneliti juga mengidentifikasi enam negara Afrika termasuk Uganda, Senegal dan Mozambik, sebagai negara berkembang yang berisiko mengalami kerugian karena infrastruktur bahan bakar fosil yang baru saja mereka bangun.
"Itu adalah investasi yang sangat besar untuk diletakkan pada saat Badan Energi Internasional memproyeksikan puncak permintaan bahan bakar fosil. Jangka waktu pengembalian modal sangat, sangat panjang,” kata Prince seperti dilansir New Scientist, Senin (4/12/2023).
Hilangnya pendapatan tersebut dan meningkatnya utang dapat menggoyahkan pemerintah, serta membuat para pekerja bahan bakar fosil dan masyarakat tidak memiliki mata pencaharian, demikian menurut Natalie Jones dari International Institute for Sustainable Development, sebuah lembaga think tank yang berkantor pusat di Kanada.
"Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat mengerikan bagi masyarakat," kata Jones, seraya membandingkannya dengan kehancuran ekonomi setelah penutupan tambang batu bara di Inggris.
Dinamika ini telah membentuk negosiasi pada pertemuan iklim COP28 yang sedang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, yang merupakan salah satu negara yang berisiko kehilangan lebih dari separuh pendapatan minyak dan gasnya. Masa depan bahan bakar fosil adalah fokus utama dari pembicaraan, dengan beberapa negara mendorong penghentian bahan bakar fosil untuk memenuhi target iklim, sementara yang lain cenderung menentang rencana itu.
Pada hari pertama pelaksanaan COP28 pada tanggal 30 November, Kelompok Negara-negara Afrika mendesak dukungan dan solusi yang adil terkait wacana penghentian produksi dan konsumsi bahan bakar fosil.
Menurut Jones, dukungan untuk petro-state yang rentan dapat menyerupai program yang diluncurkan pada COP26 di Glasgow, dimana negara-negara berpenghasilan tinggi diimbau membantu negara-negara yang bergantung pada batu bara. Program-program tersebut bertujuan untuk membantu negara-negara yang bergantung pada batu bara untuk berinvestasi dalam energi bersih, mendiversifikasi ekonomi mereka, dan melatih kembali para pekerja yang kehilangan pekerjaan.
"Kami belum melihat seberapa besar keberhasilan program-program tersebut, namun program-program tersebut dapat menjadi model bagi negara-negara yang beralih dari minyak dan gas bumi," ujar Jones.