Rabu 06 Dec 2023 23:55 WIB

Perubahan Iklim Buat Teori Tentang La Nina dan El Nino tidak Relevan, Ini Kata BMKG

Selama lima tahun, teori La Nina dan El Nino sudah tidak berlaku.

BMKGmenyoroti perubahan iklim yang menyebabkan teori tentang periode La Nina dan El Nino menjadi tidak lagi relevan.
Foto: Antara/Izaac Mulyawan
BMKGmenyoroti perubahan iklim yang menyebabkan teori tentang periode La Nina dan El Nino menjadi tidak lagi relevan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) A Fachri Radjab menyoroti perubahan iklim yang menyebabkan teori tentang periode La Nina dan El Nino menjadi tidak lagi relevan. "Teori yang selama ini dipelajari, ada periode pengulangan selama lima hingga enam tahun antara La Nina dan El Nino. Akan tetapi, ternyata selama 5 tahun teori itu sudah tidak berlaku lagi," kata Radjab dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu (6/12/2023).

Radjab memberi contoh bahwa pada tahun 2020, 2021, dan 2022, Indonesia selama tiga tahun berturut-turut mengalami La Nina yang berarti memiliki kelebihan air akibat hujan terus-menerus. Fenomena seperti itu hanya terjadi pada 50 tahun lalu.

Baca Juga

"Jadi, sekali lagi teori periode La Nina dan El Nino terjadi dalam 5 tahun atau 6 tahun sepertinya sudah tidak relevan lagi sekarang," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa perubahan iklim adalah isu global yang sangat disorot. Hal ini mengingat kesalahan memitigasi perubahan iklim merupakan risiko global nomor satu dan nomor dua yang memengaruhi ekonomi global dalam jangka panjang.

"Perubahan iklim kami amati dalam beberapa parameter. Secara global naik terus dan perubahan iklim adalah kenyataan. Contohnya karbon dioksida, emisi gas sudah sekitar 149 persen lebih tinggi dibanding ketika masa pra-industri," kata Radjab.

Indikator lainnya, kata Radjab, adalah perubahan suhu global. Sejak 1960-an hingga awal 2000 terjadi lonjakan tajam dengan laju sangat cepat. Menurut dia, hal tersebut ada kaitannya dengan agraria sebab pertanian berkaitan dengan erat dengan air.

"Ketika musim hujan, ancamannya terjadi longsor dan banjir. Sementara itu, musim kemarau terjadi kekeringan dan suhu tinggi. Jadi, kita waspada pada musim dingin dan musim hujan. Kebanyakan air gagal panen, kekurangan air juga enggak bisa panen," katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan, hasil penelitian BMKG bahwa wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami fenomena tanpa hujan selama 65 hari berturut-turut.

"Pada tahun ini selama 141 hari berturut-turut tanpa hujan.Rekornya ada di NTT selama 207 hari tanpa hujan. Nah, ini tantangan petani kalau mau menanam," kata Radjab.

Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi bertajuk Peran Industri Agroinput dalam Rantai Produksi Pangan Nasional dengan penyelenggara Nagara Institute.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement