REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Teuku Faizasyah
Dubes RI untuk Norwegia
Siapa nyana saat berkunjung ke Stavanger, kota di tepi pantai Barat Daya Norwegia, dari 30 November hingga 2 Desember 2023, saya berkesempatan bersilaturahmi dengan komunitas asal Aceh. Keberadaan mereka di Stavanger adalah akibat dari konflik Aceh yang menyebabkan mereka harus mengungsi.
Dibantu Badan Pengungsi PBB (UNHCR), sebanyak 200 jiwa masyarakat Aceh ini berpindah ke Norwegia dari Malaysia. Mereka direlokasikan dalam empat gelombang, mulai dari tahun 1990-an sampai dengan awal tahun 2000-an.
Keberadaan mereka berbeda dengan diaspora asal Indonesia lainnya yang telah lebih awal datang ke Stavanger. Diaspora Indonesia ini pada umumnya datang untuk menimba ilmu dan setelah selesai studi memutuskan untuk menetap dan berkiprah di berbagai sektor, utamanya di industri perminyakan dan energi terbarukan.
Para pengungsi ini beserta generasi kedua komunitas Aceh lainnya menjadikan Norwegia sebagai rumah mereka. Namun satu hal yang menarik dari komunitas Aceh ini adalah keteguhan hati untuk merawat adat istiadat dan budaya leluhur mereka yang kental dengan nilai-nilai ke-Islaman.
Perjumpaan saya dengan komunitas Aceh ini berawal seusai shalat Jumat di Masjid Makki di tengah kota Stavanger. Selanjutnya saya bersama beberapa rekan dari KBRI Oslo memenuhi undangan Bapak Rizali, salah satu yang dituakan dari komunitas ini, untuk makan malam di rumahnya beserta keluarga.
Kami pun membincangkan kisah hidup komunitas Aceh di Stavanger seraya menikmati beragam lauk pauk khas Aceh, termasuk gulai pliek u, yakni sayuran yang dimasak menggunakan kelapa yang difermentasi.
Kuliner ini lazimnya dihidangkan saat acara-acara adat di Aceh, sehingga kerja keras Ibu Rizali menyiapkan menu ini menjadi sangat istimewa, di tengah keterbatasan rempah-rempah khas Aceh di Norwegia.
Kami juga bertutur kata dalam bahasa daerah, yakni Bahasa Aceh sehingga tidak ada jarak budaya dan berbagi kisah hidup pun mengalir lancar tanpa sekatan. Mendengar cerita saudara-saudari sebangsa yang tercabut dari tanah leluhur mereka karena konflik di masa lalu, menimbulkan rasa haru dan mendorong untuk kembali merenungkan penggalan perjalanan kisah sejarah Indonesia.
Penggalan sejarah yang tidak selalu nyaman untuk diungkap dan dibicarakan, namun harus dihadapi sebagai satu realitas; ibarat pepatah “tiada gading yang tak retak.”
Kiranya bangsa yang bijak adalah yang siap dan terbuka untuk bersama-sama melihat secara jujur rangkaian sejarah masa lalunya, serta berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah terjadi, seraya bertekad untuk membangun kekinian dan masa depan yang lebih baik lagi.
Perjanjian damai di Aceh telah tercapai dan pemerintah bersama-sama masyarakat Aceh terus berupaya memajukan “serambi Mekkah” agar dapat mengejar ketertinggalan pembangunan sosial dan ekonomi akibat konflik di masa lalu yang berkepanjangan.
Konflik di Aceh telah terjadi dalam beberapa kurun waktu, bahkan sejak awal kemerdekaan, termasuk pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Dewasa ini, komunitas Aceh di Stavanger yang terpaksa berpindah akibat konflik di masa lalu tersebut, telah berkesempatan mengunjungi kembali kampung halaman mereka. Banyak di antara mereka yang masih mempertahankan paspor Indonesia, tetapi banyak juga yang sudah beralih kewarga-negaraan karena beragam pertimbangan.
Realitas hidup di perantauan mengharuskan mereka beradaptasi serta berupaya memberikan kesempatan yang lebih baik lagi bagi keturunan mereka, misalnya di sektor pendidikan. Oleh karenanya, beralih kewarganegaraan menjadi satu hal yang tidak terhindarkan.
Namun demikian, keniscayaan untuk beradaptasi termaksud tidak serta-merta menyebabkan mereka meninggalkan adat istiadat dan budaya leluhur mereka. Selain cita rasa kuliner Aceh yang dijaga, mereka juga mengajarkan nilai-nilai ke-Islaman kepada anak keturunan mengikuti tradisi di kampung halaman, termasuk dengan mendatangkan ustad dari Aceh.
Di sisi lain, ada juga yang mengikuti pendidikan agama bersama-sama komunitas Indonesia pada umumnya, sehingga berkontribusi bagi terbangunnya rasa kebersamaan sesama anak bangsa Indonesia di perantauan.
Pada Sabtu, 2 Desember 2023, sebelum kembali ke Oslo, saya berkesempatan bersilaturahmi dengan masyarakat dan diaspora Indonesia di Stavanger. Dalam kesempatan tersebut yang juga dihadiri beberapa perwakilan komunitas Aceh, saya menitipkan harapan agar mereka yang di perantauan terus menjaga rasa cinta tanah air dan memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia.
Silaturahmi sesama anak bangsa Indonesia di perantuan ini, sungguh menggambarkan Indonesia seutuhnya, yakni Indonesia yang berbineka namun tetap satu.