Kamis 14 Dec 2023 18:20 WIB

Pekerja Perempuan Transportasi, Mari Kita Berjuang Lawan Kekerasan dan Pelecehan!

Diperlukan perlindungan terhadap pekerja perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

Ni Luh Putu Ellyani (46) mengemudikan bus tingkat wisata atau Bus City Tour Jakarta, Selasa (20/12). Pemprov DKI Jakarta memilih sopir perempuan ketimbang laki-laki untuk menjadi pengemudi bus wisata, hal ini dinilai pengemudi perempuan lebih mampu mengend
Foto: Republika/Prayogi
Ni Luh Putu Ellyani (46) mengemudikan bus tingkat wisata atau Bus City Tour Jakarta, Selasa (20/12). Pemprov DKI Jakarta memilih sopir perempuan ketimbang laki-laki untuk menjadi pengemudi bus wisata, hal ini dinilai pengemudi perempuan lebih mampu mengend

Oleh: Susanti Zarman, Aktvis Perempuan Pekerja Pelabuhan

Kekerasan dan pelecehan dapat memengaruhi siapa pun. Tapi perempuan lebih berisiko. Ini karena posisi mereka yang tidak setara dalam masyarakat. Karena itu, Kekerasan Perempuan Berbasis Gender (KPBG) terkadang disebut sebagai kekerasan terhadap perempuan (KTP).

Baca Juga

Kenyataan menyedihkan inilah yang membuat  ITF  Women NCC indonesia (intrernational transportation federation women - national coordinatoe cometee) bersikap. Apalagi sebagai organiasi yang terdiri dari perempuan yang bekerja di berbagai bidang transpotasi  termasuk transportasi laut udara dan darat menjadi hal yang harus segera diatasi dan disikapi melalui forum workshop on "building the case for C 190". Hadir perwakilan ILO Indonesia yang terus memberikan perhatiannya. 

Melalui pelatihan yang digelar pada 10 - 12 Desember 2023 dibahas panduan pelatihan terkait konvensi ILO tentang kekerasan dan pelecehan. Kini sudah 38 negara meratifikasi konvensi itu. Misalnya untuk kawasan Asia Pasifik, Fiji, Papua Nugini dan Philipina. NCC women Indonesia pun sudah berkomitmen untuk berjuang agar mendapatkan ratifikasi konvensi anti kekerasan dan pelecehan kepada kaum perempuan.

photo
Keterangan foto: Pekerja perempuan bersama perwakilan ILO dan ITF Women NCC indonesia (intrernational transportation federation women - national coordinatoe cometee) menggelar workshop menn kekerasan dan pelecehan seksual 10 Desember-12 Desember di Jakarta. - (istimewa)

                                       *****

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah melaporkan bahwa satu dari setiap tiga perempuan akan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam hidup mereka. Bila ketiga kasus yang terlalu sedikit dilaporkan maka itu berarti bahwa statistik sebenarnya cenderung jauh lebih tinggi.

KPBG disebabkan oleh peran gender yang tidak setara dan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Ketidaksetaraan ini disebabkan oleh patriarki - sistem yang diciptakan secara sosial dan menindas di mana laki-laki lebih cenderung memegang posisi kekuasaan, kepemimpinan, otoritas, dan hak istimewa.

Adanya fenomena itu kemudian perlu menetapkan peran dan hubungan gender yang diperkuat oleh norma-norma sosial yang melanggengkan sikap, stereotipe, perilaku, dan bentuk diskriminasi yang merugikan.

Ketidaksetaraan struktural berarti bahwa pekerjaan umumnya dibagi antara laki-laki dan perempuan menurut peran dan stereotip gender yang ada. Stereotipe yang merugikan berarti bahwa beberapa pekerjaan dianggap sebagai "pekerjaan perempuan".

Hal ini menyebabkan segregasi pekerjaan. Perempuan dikelompokkan dalam pekerjaan berdasarkan bagaimana masyarakat melihat peran perempuan. Keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini dianggap "alami" bagi perempuan sehingga kurang terampil dan kurang dihargai.

Akibatnya, perempuan umumnya berakhir pada pekerjaan berstatus lebih rendah dengan lebih sedikit peluang dan umumnya dibayar lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan, ketika mengerjakan pekerjaan yang sama atau serupa, perempuan sering kali masih dibayar lebih rendah. Hal ini menyebabkan kesenjangan upah berdasarkan gender.

Di atas semua ini, perempuan terus menghadapi beban ganda, yaitu melaksanakan sebagian besar pekerjaan rumah tangga dan perawatan yang tidak dibayar di rumah selain pekerjaan yang dibayar di luar rumah.

Di seluruh dunia, pekerjaan rumah tangga umumnya tidak dinilai sebagai "pekerjaan yang sebagaimana mestinya" atau diakui dalam undang-undang ketenagakerjaan karena keterampilan yang dibutuhkannya seperti - memasak, membersihkan, dan merawat - dipandang sebagai hal ‘alami’ untuk perempuan.

Oleh karena itu, pekerja rumah tangga -- yang sebagian besar adalah perempuan-- memiliki upah dan kondisi kerja yang paling rendah, dan bahkan ada yang kesulitan mendapatkan gaji sama sekali; tempat untuk tidur dan makanan dapat digunakan sebagai bentuk pembayaran.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement