Jumat 15 Dec 2023 20:37 WIB

Delegasi COP28 Sepakat Beralih dari Bahan Bakar Fosil

Hampir 200 negara yang bernegosiasi di COP28 sepakat beralih dari bahan bakar fosil.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Hampir 200 negara yang bernegosiasi di KTT Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, sepakat untuk beralih dari bahan bakar fosil yang menyebabkan pemanasan global.
Foto: EPA-EFE/MARTIN DIVISEK
Hampir 200 negara yang bernegosiasi di KTT Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, sepakat untuk beralih dari bahan bakar fosil yang menyebabkan pemanasan global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir 200 negara yang bernegosiasi di KTT Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, sepakat untuk beralih dari bahan bakar fosil yang menyebabkan pemanasan global. Ini menjadi pertama kalinya ikrar tersebut disepakati dalam beberapa dekade perundingan iklim PBB, meskipun banyak pihak menilai kesepakatan tersebut masih memiliki kekurangan yang signifikan.

Kesepakatan ini disetujui tanpa perdebatan yang dikhawatirkan banyak pihak, dan isinya dinilai lebih kuat daripada draft yang diajukan pada awal pekan ini. Namun, kesepakatan ini tidak menyerukan penghentian penggunaan minyak, gas, dan batu bara secara langsung, dan memberikan ruang gerak yang signifikan bagi negara-negara untuk melakukan "transisi" dari bahan bakar-bahan bakar tersebut.

Baca Juga

"Umat manusia akhirnya melakukan apa yang sudah lama, sangat lama, sangat lama tertunda," ujar Wopke Hoekstra, komisioner Uni Eropa untuk aksi iklim, saat pertemuan COP28 berakhir di Dubai.

Dalam beberapa menit setelah membuka sesi terakhir, Presiden COP28 Sultan al-Jaber memberikan persetujuan atas dokumen utama - sebuah evaluasi mengenai seberapa jauh dunia keluar dari jalur iklim dan bagaimana cara untuk kembali ke jalur yang benar - tanpa memberikan kesempatan kepada para pengkritik untuk memberikan komentar. Ia memuji dokumen tersebut sebagai paket bersejarah untuk mempercepat aksi iklim.

Dokumen tersebut merupakan bagian utama dari kesepakatan Paris 2015 dan tujuan yang disepakati secara internasional untuk mencoba membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius di atas masa pra-industri. Sejauh ini, dunia telah menghangat 1,2 derajat sejak pertengahan 1800-an. Para ilmuwan mengatakan bahwa tahun ini akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat.

Beberapa menit setelah al-Jaber mengesahkan dokumen tersebut, pemimpin delegasi Samoa, Anne Rasmussen, atas nama negara-negara kepulauan kecil, mengeluh bahwa mereka bahkan tidak berada di ruangan saat al-Jaber mengatakan bahwa kesepakatan telah selesai.

“Perubahan yang dibutuhkan belum terjamin sepenuhnya. Karena kesepakatan tersebut lebih merupakan bisnis seperti biasa, daripada upaya pengurangan emisi secara eksponensial. Kesepakatan itu juga dapat berpotensi membawa kita mundur ke belakang, bukannya maju ke depan,” kata Rasmussen di forum.

Setelah Rasmussen selesai, para delegasi bersorak, bertepuk tangan dan berdiri, sementara al-Jaber mengerutkan kening, dan akhirnya bergabung dengan tepuk tangan meriah yang berlangsung lebih lama dari pujiannya. Para delegasi Kepulauan Marshall berpelukan dan menangis.

Beberapa jam kemudian, di luar sesi pleno, negara-negara kepulauan kecil dan negara-negara Eropa bersama Kolombia, berpegangan tangan dan berpelukan dalam sebuah pertunjukan emosional untuk menunjukkan dukungan bagi ambisi yang lebih besar.

“Saya kagum dengan semangat kerja sama yang telah menyatukan semua orang. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara masih dapat bekerja sama meskipun dunia melihat perang di Ukraina dan Timur Tengah. Dokumen ini mengirimkan pesan yang sangat kuat kepada dunia,” kata Utusan Khusus Amerika Serikat John Kerry seperti dilansir AP, Jumat (15/12/2023).

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa untuk pertama kalinya, hasil tersebut mengakui perlunya transisi dari bahan bakar fosil.

"Era bahan bakar fosil harus diakhiri - dan harus diakhiri dengan keadilan dan kesetaraan," kata dia.

Kesepakatan baru ini telah diajukan pada Rabu pagi dan lebih kuat dari draf yang diajukan beberapa hari sebelumnya, namun memiliki celah yang membuat para kritikus kecewa. Direktur keadilan energi Center for Biological Diversity, Jean Su, menilai bahwa kesepakatan kesepakatan tersebut masih memiliki celah besar yang memungkinkan ekspansi bahan bakar fosil mereka.

“Ada kekurangan yang cukup mematikan dan fatal dalam teks tersebut, yang memungkinkan bahan bakar transisi terus berlanjut, yang merupakan kata sandi untuk gas alam yang juga mengeluarkan polusi karbon,” kata Su.

Kesepakatan ini memang tidak sampai pada tahap penghentian penggunaan bahan bakar fosil, meskipun ada permintaan dari lebih dari 100 negara, termasuk negara-negara kepulauan kecil dan negara-negara Eropa. Sebaliknya, kesepakatan ini menyerukan transisi dari bahan bakar fosil dalam sistem energi, dengan cara yang adil, teratur dan merata, mempercepat tindakan dalam dekade yang kritis ini.

Utusan iklim Jerman, Jennifer Morgan, mengatakan bahwa perbedaan antara penghentian dan transisi dapat dilihat sebagai hal yang positif. "Saya pikir 'penghentian' adalah tentang mengirimkan sinyal yang jelas. Dan saya pikir ‘transisi’ adalah cara untuk mengungkapkan penghentian dengan komponen kesetaraan yang disertakan di dalamnya untuk negara-negara miskin yang tidak dapat bertindak secepat negara-negara kaya,” kata Morgan.

Li Shuo dari Asia Society mengatakan bahwa ketika kedua frasa tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin atau Jepang, pada dasarnya tidak ada perbedaan. Sementara itu, Presiden AS Joe Biden menyebutnya sebagai satu langkah signifikan untuk menjaga agar target 1,5 derajat tetap berada dalam jangkauan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement