Sabtu 16 Dec 2023 05:50 WIB

Satu Miliar Anak Tinggal di Negara Rentan Perubahan Iklim

Sepertiga dari populasi anak di dunia terkena dampak krisis iklim dan kemiskinan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Cuaca ekstrem telah menyebabkan setidaknya 43 juta anak mengungsi dalam enam tahun terakhir.
Foto: AP/Sam Mednick
Cuaca ekstrem telah menyebabkan setidaknya 43 juta anak mengungsi dalam enam tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu miliar anak, hampir setengah dari populasi anak di dunia, tinggal di negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Sepertiga dari populasi anak di dunia terkena dampak krisis iklim dan kemiskinan.

Menurut UNICEF, cuaca ekstrem telah menyebabkan setidaknya 43 juta anak mengungsi dalam enam tahun terakhir - setara dengan 20 ribu anak per hari yang terpaksa meninggalkan rumah dan sekolah mereka. Namun, kurang dari 3 persen dari dana iklim global utama telah dihabiskan untuk mendukung anak-anak sejak tahun 2006, demikian menurut laporan dari anggota koalisi Children's Environmental Rights Initiative (CERI): Plan International, Save the Children dan UNICEF.

Baca Juga

"Sangat penting untuk memastikan bahwa krisis iklim diakui dan ditangani sebagai krisis hak-hak anak. Jika kita tidak mengakui hal itu, ada risiko besar bahwa kita tidak menangani kelompok yang paling terdampak dan paling sedikit melakukan sesuatu yang menyebabkan situasi ini," kata CEO Save the Children, Inger Ashing, seperti dilansir Euro News, Jumat (15/12/2023).

Ashing berada di Pakistan pada Agustus, satu tahun setelah banjir dahsyat yang menyebabkan sepertiga negara itu terendam air, dan lebih dari 1.700 orang tewas serta 8 juta orang mengungsi akibat cuaca ekstrem.

"Anak-anak masih tinggal di tenda-tenda karena rumah-rumah mereka belum dibangun kembali. Kami sudah mulai membantu membangun kembali sekolah, tetapi selain itu, kami juga fokus untuk membantu anak-anak memahami apa yang terjadi pada mereka dan membantu mereka memahami apa yang dapat mereka lakukan untuk menghindari dampaknya jika hal itu terjadi lagi,” kata dia.

Perubahan iklim telah membawa hujan lebat ke rumah Nafiso, 16 tahun, di Mogadishu, Somalia, kata Ashing. Banjir menyebabkan ia harus melewatkan beberapa hari sekolah dalam beberapa bulan terakhir. Di COP28, Nafiso bertemu dengan presidennya sendiri dan menyoroti kondisi yang dihadapi oleh anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Somalia akibat konflik, banjir, dan kekeringan.

"Saya berharap pesan yang saya sampaikan kepada para pemimpin - baik pemerintah Somalia maupun komunitas internasional – akan didengar dan ditindaklanjuti. Agar anak-anak bisa mendapatkan layanan dan pendidikan yang layak mereka dapatkan,” kata Nafiso.

Untuk mengatasi krisis yang saling terkait antara perubahan iklim, konflik, kemiskinan, dan lainnya, Ashing mengatakan bahwa akar penyebab masalah perlu ditangani daripada hanya menerapkan bantuan. Namun, pendanaan yang ada saat ini tidak cukup untuk mendukung anak-anak yang terkena dampak krisis iklim.

Laporan Save the Children, Plan International dan UNICEF yang diterbitkan awal tahun ini menemukan bahwa hanya 2,4 persen dari dana iklim global utama yang dapat diklasifikasikan sebagai dana untuk mendukung kegiatan yang responsif terhadap anak. Jumlah tersebut adalah sekitar 1,2 miliar dolar AS yang memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan: mengatasi risiko akibat krisis iklim, memperkuat ketahanan layanan sosial yang kritis terhadap anak, dan memberdayakan anak sebagai agen perubahan.

Sejauh ini, belum pernah ada keputusan resmi COP yang berfokus pada anak-anak dan krisis iklim. Sepanjang COP28, kaum muda semakin vokal mengenai keterlibatan mereka dalam proses negosiasi.

Pada acara dialog pemuda, Dr Mashkur Isa dari YOUNGO, jaringan global NGO pemuda dan anak-anak, meminta anggota audiens di bawah 35 tahun untuk mengangkat tangan mereka, dan jumlahnya masih sedikit. Meskipun tingkat representasi pemuda yang tinggi, dia mencatat bahwa anak muda tidak banyak yang dilibatkan dalam pertemuan iklim.

“Terlepas dari seruan kami yang berterusan untuk tindakan iklim yang ambisius, anak-anak dan pemuda tidak dilibatkan dalam diskusi iklim, komitmen dan pembuatan kebijakan,” kata Dr Isa.

Karenanya, Isa mendesak agar negara-negara dan pihak terkait untuk melindungi kepentingan anak muda dan menempatkan suara mereka sebagai bagian dari pengambilan Keputusan perubahan iklim.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement