Kamis 21 Dec 2023 14:45 WIB

Penetapan Harga Karbon Dinilai tak Cukup Penuhi Target Perjanjian Paris

Penetapan harga karbon merupakan solusi untuk perubahan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Penetapan harga karbon merupakan solusi berbasis pasar yang memberikan insentif kepada organisasi dan individu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Foto: www.freepik.com
Penetapan harga karbon merupakan solusi berbasis pasar yang memberikan insentif kepada organisasi dan individu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika dunia bergulat dengan dampak dramatis dari rekor suhu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan peringatan yang mengerikan tentang potensi kenaikan suhu global rata-rata yang dapat mencapai 3 derajat Celsius pada akhir abad ini.

Kebijakan penetapan harga karbon telah menjadi bagian utama dari pembicaraan untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim. Penetapan harga karbon merupakan solusi berbasis pasar yang memberikan insentif kepada organisasi dan individu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berinvestasi dalam solusi iklim.

Baca Juga

Berbicara di hadapan ratusan delegasi pada pertemuan iklim COP28 di Dubai, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyampaikan argumennya mengenai penetapan harga karbon. “Jika Anda membuat polusi, Anda harus membayar harganya. Jika Anda ingin tidak ingin membayar harga tersebut, Anda harus berinovasi dan berinvestasi dalam teknologi bersih,” kata dia.

Namun, sangat penting untuk memahami potensi dan keterbatasan dari kebijakan-kebijakan ini. Sebuah penelitian yang dilakukan Sean Cleary dan Neal Willcott dari Queen’s University Kanada, menunjukkan bahwa kebijakan penetapan harga karbon global harus berkembang jauh lebih cepat, dan dikombinasikan dengan langkah-langkah mitigasi lainnya, untuk menghindari skenario pemanasan yang berbahaya.

Cleary yang menjabat sebagai BMO Proffesor of Finance di Queen’s University, mengatakan bahwa penetapan harga karbon dapat menjadi alat yang ampuh untuk memerangi perubahan iklim dan mengurangi emisi. Namun, penetapan harga karbon tidak dapat berdiri sendiri.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa penetapan harga karbon secara terpisah tidak akan memungkinkan kita untuk mencapai target Perjanjian Paris untuk skenario pemanasan 1,5 derajat Celcius atau 2 derajat Celcius,” kata Cleary seperti dilansir The Conversation, Kamis (21/12/2023).

Jika penetapan harga karbon diimplementasikan secara lebih agresif dan luas, maka hal ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam memenuhi target tersebut. Sayangnya, harga karbon rata-rata global saat ini masih sangat kecil hanya sebesar 2,79 dolar AS per ton emisi, menurut perkiraan Cleary. Karenanya perlu ditingkatkan dengan cepat.

Studi ini memodelkan dampak kenaikan harga karbon global, yang terpisah dari kebijakan-kebijakan lainnya, terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca di berbagai skenario. Cleary dan Willcott menemukan bahwa meskipun penetapan harga karbon dapat membatasi pemanasan global hingga 2,4 derajat Celcius, harga rata-rata global harus naik secara dramatis dan cepat untuk mencapai hal ini. Harga rkarbon harus dimulai dari 223,31 dolar AS per ton pada tahun 2023 dan meningkat menjadi 435,55 dolar AS per ton pada tahun 2045.

Meskipun perubahan kebijakan global seperti itu tidak mungkin terjadi, Willcott menilai, harga karbon tidak perlu terlalu tinggi jika disertai dengan langkah-langkah lain. Misalnya disertai kebijakan yang memberi kejelasan dan stabilitas terkait investasi hijau, subsidi teknologi bersih, dan mekanisme pembiayaan seperti memfasilitasi investasi transisi oleh perusahaan.

“Sebagai contoh, jika kita melihat harga karbon yang dibutuhkan untuk tetap berada dalam skenario 3 derajat Celcius, harganya sekitar 85 dolar AS per ton. Ketika dikolaborasikan dengan kebijakan lain yang tepat, dan berpotensi didanai oleh para penghasil gas rumah kaca, kita masih dapat mencapai tingkat emisi yang jauh lebih rendah dari 3 derajat Celcius pada akhir abad ini,” jelas Willcott yang merupakan kandidat PhD Finance.

Penelitian ini juga melihat manfaat dari menghindari skenario pemanasan yang lebih tinggi. Penghematan yang dihasilkan dari menghindari kerusakan terkait iklim dan kerugian ekonomi akibat kekeringan, kebakaran hutan, banjir, badai, dan naiknya permukaan air laut akan sangat besar.

Cleary dan Willcott memperkirakan bahwa kerusakan kumulatif dalam skenario pemanasan 3 derajat Celcius sebesar 480 triliun dolar AS, atau 213 triliun dolar AS lebih tinggi dibandingkan skenario 2 derajat Celcius dan 326 triliun dolar AS lebih tinggi dibandingkan skenario 1,5 derajat Celcius. Hal ini menegaskan pentingnya mencapai target Perjanjian Paris.

Bahkan jika target pemanasan yang lebih rendah tidak tercapai, ada alasan kuat untuk penetapan harga karbon. Sebagai contoh, menjaga pemanasan global di tingkat 3 derajat Celcius pada tahun 2100, akan berbeda dengan skenario harga nol karbon dengan pemanasan 4,2 derajat Celcius. Itu kemudian dapat mencegah kerusakan kumulatif sebesar 284,73 triliun dolar AS - hampir tiga kali lipat dari PDB dunia saat ini yang sebesar 105 triliun dolar AS.

“Kita berbicara tentang kerusakan dunia di sini, dan tentu saja itu hanya nilai ekonomi. Itu tidak memperhitungkan kerugian manusia akibat bencana iklim yang telah kita lihat dengan hancurnya rumah-rumah, hancurnya mata pencaharian, dan hilangnya nyawa. Pesannya bukan untuk menyerah, tetapi untuk mengintensifkan upaya dan berkoordinasi secara global,” kata penulis studi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement