REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Anggota Komisi VIII DPR RI, Wisnu Wijaya, menyoroti ihwal kebijakan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang sebelumnya berwujud barang sembako kemudian diubah menjadi uang tunai. Wisnu mengungkapkan, dalam praktiknya di lapangan, kebijakan tersebut telah memunculkan sejumlah penyimpangan.
“Selama masa reses ini kami menyaksikan dan menerima laporan dari masyarakat bahwa ada beberapa temuan yang tidak kita harapkan terkait dengan BPNT. Misalnya, yang semula dana BPNT diharapkan untuk membeli kebutuhan pangan bernutrisi bagi para KPM, sebaliknya digunakan untuk membeli rokok, paket kuota, dan barang-barang lain yang tidak sesuai peruntukannya,” kata Wisnu, Ahad (31/12/2023) lalu.
Ia berharap kebijakan BPNT tersebut harus bisa memberikan multiplier effect bagi ekosistem ekonomi masyarakat di tingkat terkecil seperti warung. Namun dalam pelaksanaannya di beberapa tempat, Wisnu menyebut yang menerima keuntungan adalah para pedagang besar.
“Permasalahan lain dari kebijakan BPNT ini adalah skema pembelian barang melalui dana BPNT tidak bisa dikontrol dengan memadai. Dana tunai yang diharapkan bisa dibelanjakan di warung-warung tetangga untuk memberdayakan ekonomi mereka, sebaliknya dibelanjakan di minimarket khususnya ketika tanggal pencairan,” ucapnya.
Anggota DPR Fraksi PKS tersebut mengatakan, pihaknya selalu mengingatkan kepada para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BPNT, Program Keluarga Harapan (PKH), serta berbagai KPM bansos tunai lain dari Kemensos agar membelanjakan dana yang diterima secara bertanggung jawab.
“Sebagai bentuk pengawasan, kami selalu mengingatkan agar para KPM tidak membeli rokok, paket kuota dan berbagai hal lain yang tidak sesuai peruntukan dana BPNT. Bantu warung tetangga dengan belanja di tempat mereka. Bahkan, kami tegaskan bahwa jika hal itu dilakukan, Komisi VIII tidak ragu untuk mengusulkan agar bansos yang selama ini diterima dicabut untuk diberikan kepada pihak yang lebih amanah,” kata Wisnu.
Anggota DPR RI Dapil Jateng 1 ini juga meminta Kementerian Sosial mempertimbangkan kembali opsi reaktivasi E-Warong sebagai bagian dari evaluasi akhir tahun 2023. Ia menilai di tahun 2024 ini perlu ada formulasi baru yang perlu dipikirkan oleh Kementerian Sosial agar program BPNT yang telah berjalan selama ini bisa dilakukan penyempurnaan, khususnya dari segi kontrol belanja barang dan multiplier effect.
"Untuk itu, perlu dipertimbangkan opsi untuk mengaktivasi kembali program E-Warong, dengan catatan, perlu ada skema penguatan pengawasan sehingga kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi di masa lampau tidak lagi terulang,” katanya.