REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prancis sedang menyusun undang-undang untuk mereformasi infrastruktur pembangkit listrik tenaga air negara tersebut untuk mencoba menyelesaikan perselisihan lama dengan Uni Eropa dan memungkinkan investasi dalam kapasitas baru. Demikian menurut Menteri Energi Prancis, Agnès Pannier-Runacher.
Undang-undang tersebut akan memungkinkan pemerintah untuk membangun unit pembangkit listrik tenaga air sesuai dengan hukum Eropa, namun harus melalui konsultasi publik dan pemungutan suara di parlemen terlebih dahulu.
Prancis telah mempertimbangkan untuk mereformasi peraturan mengenai unit-unit pembangkit listrik tenaga airnya selama beberapa tahun, karena Brussels telah berulang kali mengatakan bahwa penambahan kapasitas harus bergantung pada tender yang kompetitif untuk mendatangkan peserta baru.
Pemerintah dan perusahaan negara EDF, yang memiliki sebagian besar produksi hidro, mengatakan bahwa hingga saat ini EDF tidak dapat melakukan modifikasi dan perbaikan substansial pada bendungan dan struktur hidroliknya. EDF mengatakan bahwa mereka bisa mengembangkan beberapa gigawatt (GW) kapasitas tambahan.
Sebuah sumber dari kantor menteri energi menyatakan bahwa ada pertanyaan hukum yang harus ditangani, tetapi pembicaraan dengan Brussels telah mengungkapkan "keinginan bersama" untuk menyelesaikan perselisihan yang telah menghambat investasi dalam pembangkit listrik tenaga air selama 15 tahun.
“RUU itu akan memungkinkan pemerintah untuk mereformasi kerangka hukum untuk memungkinkan EDF berinvestasi lebih banyak tanpa harus membuka bendungan untuk kompetisi,” kata sumber tersebut seperti dilansir Reuters, Selasa (9/1/2024).
RUU Kedaulatan Energi Prancis juga berencana untuk mempertahankan kemampuan nuklir negara tersebut dan mencakup perluasan program nuklir EPR2 generasi berikutnya.
Selain itu, RUU ini juga berupaya untuk mengimplementasikan peraturan baru di pasar listrik mulai 1 Januari 2026 yang disepakati pada bulan November. Teks ini juga menetapkan tujuan emisi gas rumah kaca untuk Perancis sebesar 50 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat tahun 1990, sementara bertujuan untuk mengurangi konsumsi primer dari bahan bakar fosil sebesar 50 persen dibandingkan dengan tingkat konsumsi tahun 2012, dan sebesar 65 persen pada tahun 2035.