REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah krisis iklim, pola makan vegan banyak disebut sebagai cara efektif guna membatasi emisi gas rumah kaca. Berbagai studi seperti yang dilakukan peneliti dari University of Oxford dan dipublikasikan dalam jurnal Nature Food, menemukan bahwa pola makan vegan menghasilkan emisi gas rumah kaca 75 persen lebih sedikit daripada pola makan tinggi daging.
Lantas apakah pola makan vegan memungkinkan diterapkan di masyarakat Indonesia? Health coach sekaligus penggagas Indonesia Sehat Selaras, dr Kasim Rasjidi, mengungkapkan bahwa penerapan pola makan vegan maupun vegetarian di masyarakat Indonesia sangat mungkin. Asalkan hal tersebut dijadikan gerakan yang dipersiapkan dan dikoordinasikan dengan baik.
Untuk memulai pola makan vegan, menurut dr Kasim, sebaiknya masyarakat diberi edukasi mengenai betapa luar biasanya hasil bumi di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia buah tidak pernah ada hentinya, begitu pun sayur tidak mengenal musim.
“Edukasi itu sangat penting. Terlebih dari segi nutrisi, pola makan vegan juga dapat mempermudah kontrol diabetes, tekanan darah, kesehatan jantung dan pembuluh darah, kanker, menjaga berat badan, pencernaan, radang sendi, juga kulit, tentunya jika dilakukan dengan cara yang benar,” kata dr Kasim saat dihubungi Republika, Jumat (12/1/2024).
Dokter Kasim mengungkapkan bahwa sayur berdaun hijau adalah sumber kalsium yang sangat bagus, juga bahan baku protein yang produksinya dilakukan oleh hati. Selain itu, melimpahnya paparan sinar matahari di Indonesia juga dapat meningkatkan asupan vitamin D, yang kemudian membantu penyerapan kalsium. Contoh makanan nabati lain yang bisa dikonsumsi misalnya Alpukat. Kasim menjelaskan bahwa alpukat mengandung lemak, serat, vitamin, dan mineral yang sangat bagus untuk menjaga keseimbangan fisiologi guna mengejar pembentukan otak usia dini.
“Jadi, ya, kita perlu menggeser paradigma nasi sebagai makanan pokok menjadi nasi adalah tambahan. Pengajaran ini mungkin tidak langsung berhasil, tapi ini adalah investasi untuk bangsa Indonesia di masa depan. Sebagai perbandingan, perlu waktu 3 tahun untuk mengenalkan pizza di Indonesia,” ujar Kasim.
Menurut dr Kasim, kebutuhan protein masyarakat Indonesia memungkinkan untuk dipenuhi dari protein nabati seperti kacang hijau dan kedelai. Indonesia, kata Kasim, memiliki pasokan kacang hijau yang berlimpah, misalnya pada 2020 kacang hijau menjadi komoditas pangan dengan nilai ekspor tertinggi, yakni 5,27 juta dolar AS.
Sementara itu, tentang susu yang begitu dianggap penting, jelas dr Kasim, sebenarnya ketidak cocokan atau intoleransi susu di populasi Indonesia cukup tinggi, kisaran 21-73 persen.
“Tapi memang, konsumsi buah dan sayur saya lihat di keseharian sangat kurang. Hanya sebagai sedikit lauk dan sedikit tambahan, sementara asupan karbohidrat banyak. Jadi memang perlu ada edukasi dan koordinasi yang sangat baik dan menyeluruh,” ujar Kasim.
Dokter Kasim menambahkan bahwa beberapa daerah di Indonesia seperti masyarakat Sunda, sudah sangat familiar dengan sayuran. Daerah lain di Indonesia pun sudah mengenal makanan lezat yang terbuat dari sayuran seperti pecel hingga gado-gado.
Di sisi lain, dr Kasim tak memungkiri bahwa pola makan vegan dan vegetarian juga memiliki masalah tersendiri, seperti paparan pestisida pada sayuran. Namun untuk pestisida, kata dr Kasim, bisa dihilangkan dengan cara merendam sayuran dan buah dalam larutan soda kue selama 15 menit, lalu dicuci, baru diolah.
Yang juga sering luput adalah bahan bentukan rekayasa genetik di mana efeknya dapat berupa alergi, gangguan pencernaan, ketidakseimbangan hormon, kerusakan organ dan sistem, obesitas dan gangguan metabolik seperti diabetes dimana Indonesia punya risiko kuat. Efek produk GMO ini tidak dapat dinetralkan, karena proses pembuatannya adalah dengan merubah gen tumbuhan.
“Tetapi jika dikatakan bahwa vegan dan vegetarian berisiko membuat tubuh kekurangan asam folat, vitamin B-12, gangguan hormonal, saya sama sekali tidak setuju,” kata dokter Kasim