Sabtu 13 Jan 2024 05:24 WIB

Diprotes Ratusan Ilmuwan Dunia, Norwegia Justru Dukung Penambangan Bawah Laut

Penambangan bawah laut akan menimbulkan konsekuensi berbahaya bagi ekosistem.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Aktivitas penambangan bawah laut dapat menimbulkan konsekuensi berbahaya yang mengancam kehidupan laut.
Foto: Antara/Jojon
Aktivitas penambangan bawah laut dapat menimbulkan konsekuensi berbahaya yang mengancam kehidupan laut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penambangan bawah laut (deep sea mining) yang kontroversial selangkah lebih dekat menjadi kenyataan, karena Norwegia menyetujui praktik tersebut dalam pemungutan suara di Parlemen. Langkah ini akan membuka dasar laut Norwegia untuk dieksplorasi oleh alat berat untuk mengeruk sumber daya logam, mineral, magnesium, niobium, hingga kobalt.

Bahan-bahan tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dunia akan teknologi seperti ponsel pintar, dan peralatan yang penting untuk masa depan yang lebih ramah iklim, seperti kendaraan listrik, baterai, dan panel surya.

Baca Juga

Namun, keputusan tersebut membuat para pegiat lingkungan dan para ilmuwan melayangkan protes. Menurut mereka, aktivitas penambangan bawah laut dapat menimbulkan konsekuensi berbahaya yang mengancam kehidupan laut, serta memicu perselisihan dengan negara-negara tetangga seperti Uni Eropa dan Inggris, yang mendukung moratorium.

Sementara itu, parlemen Norwegia berpendapat bahwa izin eksplorasi mineral di dasar laut Arktik, akan membuat Norwegia menjadi pelopor dalam penambangan laut dalam dalam skala komersial. Wilayah yang dieksplorasi itu lebih luas dari inggris -280 kilometer persegi- di landas kontinen Norwegia di Kutub Utara, yang membentang hingga ke utara Svalbard.

Para pejabat belum menetapkan jadwal untuk memulai eksplorasi, tetapi hal ini menambah momentum lebih lanjut bagi industri ini.

"Kami sekarang akan melihat apakah hal ini dapat dilakukan secara berkelanjutan, dan itulah langkah yang kami ambil sekarang," kata Menteri Energi Terje Aasland kepada parlemen seperti dilansir Sky News, Sabtu (13/1/2024).

Kaja Lønne Fjærtoft, pemimpin kebijakan global untuk Inisiatif Tanpa Penambangan Dasar Laut WWF, menyebut keputusan tersebut sebagai bencana bagi lautan.

"Laut dalam adalah cadangan karbon terbesar di dunia dan hutan belantara terakhir yang belum tersentuh, dengan satwa liar yang unik dan habitat penting yang tidak ada di tempat lain di dunia," tegas dia.

Aktivis Greenpeace Amanda Louise Helle menyebut eksplorasi tersebut sebagai aktivitas yang sangat menghancurkan.

Lebih dari 800 ilmuwan juga telah menandatangani surat terbuka untuk mendukung penghentian sementara penambangan bawah laut. Mereka juga memperingatkan adanya potensi kerusakan yang tidak dapat dipulihkan terhadap ekosistem.

Martin Webeler dari Environmental Justice Foundation mengatakan bahwa permintaan akan mineral-mineral penting sebagian besar dapat dipenuhi dengan cara yang lebih efisien dari mineral-mineral yang telah ditambang. Hal ini termasuk mendaur ulang produk seperti vape sekali pakai, yang mengandung tembaga, dan limbah elektronik lainnya seperti ponsel lama, baterai yang lebih canggih, serta memperpanjang masa pakai produk.

"Mengapa kita harus memperluas penambangan yang merusak ke salah satu ekosistem yang paling murni dan penting di Bumi, yang hampir pasti akan memusnahkan spesies yang belum ditemukan dan dengan dampak yang tidak diketahui pada bentangan lautan yang sangat luas,” kata Webeler.

Dan Marks, peneliti di lembaga thinktank pertahanan dan keamanan yang berbasis di Inggris, RUSI, mengatakan bahwa para pembuat kebijakan di Eropa menghadapi kebimbangan dalam menentukan kebijakan. Di satu sisi, mereka ingin memperluas pasokan untuk mendukung transisi energi dan bersaing dengan produsen terkait seperti Cina. Namun di sisi lain, ada juga keinginan untuk menghindari penyelamatan iklim dengan mengorbankan lingkungan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement