REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi mengajak tokoh masyarakat membantu Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk menyosialisasikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
"Sebagian masyarakat beranggapan biaya perjalanan ibadah haji dinaikkan setiap tahun, padahal sebenarnya selama ini biaya itu ditanggung jemaah hanya sebagian kecil dari biaya total perjalanan," kata Ashabul Kahfi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/1/2024).
Ia menjelaskan setiap tahun ada keuntungan dari pengelolaan dana haji sekitar Rp 10,5 triliun, kemudian keuntungan ini disisihkan Rp 8,2 triliun sebagai nilai manfaat atau subsidi BPIH bagi 241 ribu orang jamaah calon haji. Sisanya untuk kemaslahatan umat, seperti bantuan ambulans, bantuan ke ormas-ormas Islam, dan beasiswa.
Hal itu disampaikan Kahfi saat menghadiri Diseminasi Strategi Pengelolaan dan Pengawasan Keuangan Haji dan Sosialisasi BPIH 1445 Hijriah/2024 Masehi di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia juga mengajak masyarakat tidak mudah percaya dengan informasi bohong atau hoaks seputar pengelolaan keuangan haji.
"Misalnya, ada yang bilang dana haji dipakai untuk infrastruktur. Semua itu tidak benar. Bisa cek langsung ke website atau media sosial BPKH atau tanyakan langsung kepada kami Komisi VIII atau Kementerian Agama," katanya menegaskan.
Tahapan pelunasan BPIH yang dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama tanggal 10 Januari sampai 12 Februari 2024 dan tahap kedua pada 5 hingga 24 Maret 2024 untuk jamaah calon haji yang belum dapat melunasi pada tahap pertama.
Sementara itu, Anggota Dewan Pengawas BPKH Deni Suardini mengatakan BPKH berkomitmen untuk mengelola keuangan haji secara profesional, transparan, dan akuntabel agar pengelolaan keuangan haji dapat memberikan manfaat yang optimal bagi jamaah calon haji. Menurut ia, keuangan haji harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan dipromosikan serta disosialisasikan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui diseminasi
"Pengelolaannya harus taat azas, kita harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa. Dana yang ada sebesar kurang lebih Rp 168 triliun itu, sekitar 76 persen diinvestasikan dalam bentuk SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) dan 24 persen di bank syariah pemerintah,” jelasnya.