REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ekonom asal Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Lukman Hakim menyebut inflasi hijau penting diperhatikan karena bagian dari masa depan dunia.
"Green inflation atau greenflation ini kan bagian dari ekonomi hijau, salah satu upaya untuk mengurangi emisi karbon," katanya di Solo, Jawa Tengah, Senin (22/1/2024).
Menurut dia, inflasi hijau merupakan inflasi yang dihitung dari barang-barang yang memicu adanya polusi. "Jadi inflasinya ini sudah memasukkan variabel green economy itu," kata Lukman.
Bahkan, ia menilai pertanyaan tersebut bagus dilontarkan untuk calon presiden dan calon wakil presiden untuk mengetahui seberapa besar komitmen mereka terhadap ekonomi hijau. "Karena memang masa depan, ya, seperti itu," katanya.
Ia mengatakan hal itu merupakan bagian dari upaya menuju nol emisi karbon pada tahun 2060. Menurut dia, ekonomi hijau menyasar ke berbagai sektor, termasuk di sektor perbankan atau perusahaan swasta.
"Jadi, laporan keuangan akan dinilai dari sudut ekonomi hijaunya. Misalkan saya punya CSR, itu nanti ketika saya mengeluarkan sekian rupiah untuk CSR, berapa dampaknya terhadap pengurangan emisi karbon," katanya.
Ia mencontohkan program menanam pohon untuk mengurangi kadar karbon dioksida lingkungan. "Misalnya menanam sekian ribu pohon, itu dihitung dia akan mengurangi CO2 berapa persen. Memang arahnya ke green economy," kata Lukman.
Sebelumnya, pembahasan tersebut muncul pada debat keempat calon presiden dan calon wakil presiden, yakni saat Gibran menanyakan terkait greenflation kepada Mahfud MD.
Pada saat itu, Mahfud mengatakan untuk mengatasi inflasi hijau dengan cara menerapkan ekonomi hijau. "Ekonomi sirkular, sebuah proses pemanfaatan produk ekonomi, misalnya pangan. Itu diproduksi, dimanfaatkan, dan di-recycle," katanya.
Namun Gibran menganggap jawaban tersebut tidak sesuai dengan pertanyaan yang dilontarkan.