REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun ada peraturan Uni Eropa yang ketat tentang daur ulang plastik, namun masih sedikit pengawasan terhadap ekspor sampah plastik dari Uni Eropa ke Asia. Sebagian besar plastik Eropa yang diekspor ke Vietnam misalnya, tidak dapat didaur ulang dan berakhir di alam. Hal ini berdasarkan pada laporan terbaru dari para pakar yang diterbitkan dalam Circular Economy and Sustainability.
Setengah dari sampah plastik Eropa diekspor ke sejumlah negara di belahan dunia Selatan, termasuk Vietnam. Untuk melacak proses daur ulang plastik Eropa, tim peneliti dari Belanda dan Vietnam melakukan perjalanan ke Desa Kerajinan Minh Khai, pusat daur ulang terbesar di Vietnam
"Kami mengamati orang-orang memasak, makan, dan tinggal di dalam fasilitas daur ulang, dikelilingi oleh asap berbahaya dari peleburan plastik. Anak-anak bermain di lingkungan yang menyesakkan ini," kata peneliti utama studi, Kaustubh Thapa dari Utrecht University seperti dilansir Phys, Jumat (26/1/2024).
Menurut penelitian, 7 juta liter air limbah beracun dibuang ke saluran air di desa tersebut setiap hari. Meskipun perdagangan sampah seperti itu menguntungkan bagi sebagian orang, mengalihkan tanggung jawab produsen untuk mengelola sampah ke desa-desa seperti ini menyebabkan kerugian bagi manusia, masyarakat, dan lingkungan.
Saat ini, negosiasi PBB untuk perjanjian plastik internasional sedang berlangsung. Penelitian terbaru Thapa menunjukkan perbedaan yang mencolok antara kebijakan Vietnam dan Eropa dengan kenyataan di pusat-pusat daur ulang di negara-negara Selatan.
"Konsumen Eropa berusaha untuk memisahkan daur ulang, namun kita dapat melihat dengan jelas bahwa upaya mereka, untuk persentase yang cukup besar, sia-sia," kata Thapa.
“Berfokus pada peningkatan tingkat daur ulang di Uni Eropa tanpa secara sistematis menangani bahaya terkait manusia dan lingkungan di seluruh rantai nilai bukanlah tindakan yang etis, sirkuler, atau berkelanjutan,” tambah Thapa.
Para peneliti tetap percaya bahwa mengalihdayakan sampah plastik untuk didaur ulang dapat dilakukan dengan cara yang berkelanjutan. Karenanya ia berharap, studi ini bisa menjadi bahan pertimbangan dalam kesepakatan baru Hijau Eropa dan pembicaraan PBB yang sedang berlangsung tentang Perjanjian Plastik Global yang mengikat secara hukum.
“Karena kita mengkonsumsi lebih banyak dan lebih banyak lagi, dan dengan demikian menghasilkan lebih banyak sampah, perdagangan sampah untuk didaur ulang harus ditangani pada tingkat yang sistematis,” kata Thapa.