Jumat 26 Jan 2024 20:22 WIB

Mengubah Paradigma Sekolah: Menuju Ruang Aman untuk Guru dan Siswa

Mengubah paradigma sekolah suatu keharusan moral dan investasi di masa depan.

Guru memeriksa tas siswa saat razia mainan lato-lato di Sekolah SD Negeri 1 Kota Ternate, Kelurahan Maliaro, Kota Ternate, Maluku Utara, Senin (16/1/2023). Razia permainan lato-lato yang sedang tren itu dilakukan karena dinilai berbahaya bagi para siswa sekaligus mengantisipasi gangguan kegiatan belajar mengajar (KBM).
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Guru memeriksa tas siswa saat razia mainan lato-lato di Sekolah SD Negeri 1 Kota Ternate, Kelurahan Maliaro, Kota Ternate, Maluku Utara, Senin (16/1/2023). Razia permainan lato-lato yang sedang tren itu dilakukan karena dinilai berbahaya bagi para siswa sekaligus mengantisipasi gangguan kegiatan belajar mengajar (KBM).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khaerul Umam Noer, Dosen Program Magister Ilmu Administrasi Publik FISIP UMJ

Pada 2023 Universitas Muhammadiyah Jakarta berkolaborasi dengan Yayasan Attaqwa – Bekasi, Daya Riset Advokasi Perempuan dan Anak di Indonesia, dan Atiqoh Noer Alie Center, atas dukungan penuh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui skema Program Dana Padanan 2023, mengadakan pendampingan bagi 60 pondok pesantren, madrasah dan sekolah yang bernaung di bawah Perguruan Attaqwa. Tulisan ini adalah catatan pembelajaran sekaligus refleksi kritis sepanjang progam tersebut.

Kegiatan ini dimulai dari satu pertanyaan fundamental: bagaimana mengubah paradigma sekolah menjadi #RuangAman untuk semua? Sekolah adalah institusi yang tidak hanya bertanggung jawab dalam mentransfer pengetahuan kepada generasi muda, tetapi juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter, moral, dan kesejahteraan psikologis siswa.

Agar sekolah dapat berfungsi secara optimal, sangat penting untuk mengubah paradigma sekolah menjadi ruang yang aman, baik bagi guru maupun siswa. Tulisan ini membahas bagaimana mengubah paradigma sekolah menjadi ruang aman, mengapa sekolah harus menjadi ruang aman, dan apa manfaat perlindungan guru dan siswa dari kekerasan di sekolah.

Permendikbud 82/2015 membuka diskursus tentang pentingnya sekolah menjadi ruang aman. Persoalannya adalah, regulasi tersebut hanya mengatur tindakan dianggap kekerasan jika korbannya adalah siswa.

Di samping itu, regulasi tidak mengatur secara tegas bentuk-bentuknya. Regulasi paling awal yang mengatur bentuk kekerasan, secara spesifik kekerasan seksual, adalah Permendikbud 30/21. Bahkan boleh dibilang, Permendikbud ini memicu lahirnya Permendikbud 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Tantangan utama Permendikbud 46/2023 adalah mendorong perubahan paradigma satuan pendidikan, dari sebatas wahana pembelajaran menjadi ruang aman bagi semua orang. Permendikbud ini lebih luas cakupannya dibandingkan Permendikbud 82/2015, dengan memasukkan unsur siswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga sekolah lain sebagai cakupan perlindungan, dan lebih mendetail terkait bentuk-bentuk kekerasan.

Merespon Permendikbud ini, Tim MF dan Yayasan Attaqwa segera menyusun dan mengesahkan Peraturan Perguruan Attaqwa 3/2023 tentang Pesantren/Madrasah/Sekolah Merdeka dari Kekerasan. Tim bahkan bergerak lebih jauh dengan menyusun SOP-SOP terkait, dimulai dari pencegahan, penanganan, dukungan psikologis awal, penerimaan laporan, tindaklanjut laporan, rekomendasi, pengawasan, dan evaluasi.

Seluruh regulasi ini bertujuan untuk untuk mengubah paradigma sekolah dari fokus hanya pada aspek akademis menjadi pendidikan holistik. Ini mencakup perhatian terhadap aspek psikologis, emosional, dan sosial siswa. Program-program pembelajaran dirancang untuk memahami kebutuhan individu siswa dan mengembangkan keterampilan interpersonal serta emosional mereka, sekaligus memberikan payung hukum atas perlindungan semua unsur sekolah dari tindak kekerasan.

Dalam proses pendampingan, kami menyadari penting pula membangun keterlibatan positif antara guru, siswa, dan orangtua adalah kunci untuk menciptakan ruang aman di sekolah. Guru perlu melibatkan siswa dalam pembelajaran, mendengarkan mereka, dan memberikan dukungan ketika diperlukan.

Hal ini menciptakan hubungan yang positif dan membangun kepercayaan di antara anggota komunitas sekolah. Guru dan siswa berperan tidak hanya dalam transfer pengetahuan, namun juga menjadi early warning system untuk pencegahan tindak kekerasan dan early supporting system bagi korban tindak kekerasan.

Mengembangkan Program Anti-Bullying dan Anti-Kekerasan harus menjadi fokus serius. Kekerasan di sekolah dapat menciptakan lingkungan yang tidak aman dan merugikan bagi guru dan siswa.

Karena itu, penting untuk mengembangkan program anti-bullying dan anti-kekerasan yang efektif. Hal ini mencakup kampanye penyuluhan, workshop untuk mengajarkan keterampilan sosial, dan prosedur penanganan kasus kekerasan yang jelas.

Di sisi lain, sistem penghargaan positif dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong perilaku yang baik di sekolah. Memberikan penghargaan untuk prestasi akademis, keterampilan sosial, atau kontribusi positif lainnya dapat memotivasi siswa dan menciptakan iklim positif di sekolah.

Sekolah harus menyediakan program dukungan kesehatan mental untuk guru dan siswa. Program ini dapat mencakup konseling, seminar kesehatan mental, dan dukungan psikologis untuk membantu mengatasi tekanan dan stres yang mungkin timbul di lingkungan sekolah.

Pendidikan kesadaran emosional harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Guru perlu memfasilitasi pembelajaran tentang pengelolaan emosi, penyelesaian konflik, dan komunikasi yang efektif. Dengan memberikan siswa keterampilan ini, mereka dapat lebih baik mengelola stres dan konflik di dalam dan di luar lingkungan sekolah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement