Ahad 28 Jan 2024 10:26 WIB

Politisasi Agama: Modus Politik yang Kumuh dan Primitif

Peran agama mestinya tidak dikerdilkan sebagai alat mobilisasi politik.

Ahmad Fanani, Budayawan
Foto: dok pribadi
Ahmad Fanani, Budayawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Fanani, Budayawan

Propaganda memang masih menjadi senjata ampuh dalam setiap suksesi politik, terlebih jika ditautkan pada klaim-klaim agama. Sebagaimana viral di berbagai media sosial, masih banyak oknum yang secara serampangan menggunakan diktum agama sebagai alat propaganda dan mobilisasi politik demi kepentingan kekuasaan. Agama yang mestinya dipakai untuk menuntun umat menuju surga, diperalat sebagai sebatas kendaraan menuju kekuasaan. 

Agama memang tak bisa dipisahkan dari politik. Sebagaimana dikatakan Buya Natsir bahwa memisahkan agama dari politik semusykil memisahkan gula dari manisnya, atau menceraikan garam dari asinnya. Namun demikian, kita harus cermat dan hati-hati betul dalam mengelola relasi keduanya. 

Peran agama mestinya tidak dikerdilkan dengan cara rendahan seperti menggunakannya sebagai alat mobilisasi politik. Keluhuran agama mestinya ditempatkan sebagai penyemai nilai keadaban publik, menyuburkan keluhuran budi dan akhlak kolektif bangsa. Kemuliaan agama diletakkan sebagai tungku pematangan kualitas kemanusiaan yang menumbuhkan jiwa welas asih dan kebijaksanaan yang merupakan katalis perekat persatuan.

Kehadiran agama mestinya selayaknya fajar yang mencerahkan, menuntun umat menuju peradaban yang berkemajuan. Modus sosial agama tak boleh berhenti hanya dengan meromantisasi masa lalu dan celoteh glorifikasi kejayaan silam sembari mengutuk masa kini yang dilabeli jahiliyah dan serba sesat.

Memperalat Agama

Memperalat agama sebagai instrument mobilisasi untuk kepentingan politik praktis adalah laku yang teramat beresiko dan berbahaya. Kita sudah menyaksikan dalam beberapa titik di lintasan sejarah bangsa benturan berbagai ideologi dan beroperasinya politisasi agama memakan korban yang tak sedikit dan memilukan.

Tapi memang mobilisasi politik dengan memperalat agama teramat sangat menggiurkan. Sebab merupakan cara instan meraih dukungan publik. Modus politik jenis ini beroperasi dengan melakukan eksploitasi atas sentimen emosi dan ketakutan. Umat yang khawatir akan berbondong-bondong memberikan dukungan elektoral.

Wajar saja jika hari ini banyak oknum yang secara serampangan menggunakan diktum agama sebagai alat propaganda dan mobilisasi politik demi kepentingan kekuasaan. Kolaborasi faktor jebloknya elektabilitas, miskinnya gagasan dan deficit nalar untuk merumuskan strategi yang bisa merebut simpati public membuat mereka mengambil jalan pintas dengan memperalat agama. 

Maka bertebaranlah propaganda-propaganda murahan seperti “Siapa yang tak memilih paslon X patut dipertanyakan agamanya.” Atau video yang menunjukkan oknum yang secara serampangan melabeli mereka yang berbeda pilihan sebagai Dajjal. Dalam video lain ada juga oknum yang secara teatrikal meyakinkan audience bahwa calon tertentu merupakan titisan Imam Mahdi. 

Monopoli kebenaran semacam ini adalah ibu dari segala sikap intoleran. Sikap yang membelah kami dan mereka. Kami adalah pejuang dan mereka adalah begundal. Kami adalah pihak yang benar dan mereka adalah biang kerok dari segala kejahatan. Maka mereka harus disingkirkan bagaimanapun caranya.

Modus politik yang demikian bukan saja menurunkan kualitas demokrasi, tapi juga berbahaya. Pesta demokrasi yang mestinya meriah oleh pendidikan politik dengan keriuahan pertarungan gagasan, hanya sekadar jadi ajang eksploitasi sentimen yang primitif. Pematangan demokrasi semakin jauh panggang dari api, dan politik tak lagi ditakar dengan pertimbangan-pertimbangan nalar. Proses deliberasi politik mengalami kebuntuan. Rasionalitas terpinggirkan. Pesta demokrasi hanya gaduh oleh celoteh hoax dan ujaran kebencian.

Mesianisme politik seperti ini tak akan membawa kita kemanapun selain segregasi politik dan pembelahan sosial. Keselamatan seakan ada di tangan mereka. Pemburu kuasa bertransformasi menjadi pejuang keselamatan. Bilik suara tak ubahnya shirothol mustaqim yang berhilir di surge atau neraka. Berbeda pilihan bukan saja dosa, tapi bahkan bisa membatalkan status keberimanan.

Selalu saja ada demagog yang menghalalkan segala-galanya demi segenggam kuasa. Mereka tak mempan dengan argumentasi rasional. Dengan segala cara mereka mengeksploitasi dan menunggangi emosi komunal demi mengais remah-remah elektoral. Agama yang mestinya dimuliakan, mereka nistakan dengan memperalatnya sebagai bahan bakar untuk memanggang emosi publik. Yang mesti disadari, sejatinya modus politik yang demikian, justru bisa menjadi senjata makan tuan karena publik yang masih melek akal pikir dan nuraninya tak akan mempan dengan cara-cara murahan seperti itu.

Politik Gagasan

Dalam peletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama sebelum sila Persatuan, ada pesan yang patut kita renungkan bahwa agama mestinya menjadi bantalan dan katalis integrasi sosial yang bisa merekatkan puspa ragam unsure bangsa dalam satu kesatuan yang solid dan tak goyah. Satu bangsa yang memuliakanakhlak dan meninggikannilai-nilaikeadaban. 

Bangsa ini dibangun di atas kesediaan dan kerelaan social bapak dan ibu bangsa untuk saling merangkul, bukan memukul, saling bertaut bukan saling memagut, dan saling menyatukan bukan memisahkan. Pemilu sebagai jalan suksesi nasional, mestinya jadi momen pematangan tali ikat persatuan. Salah satu syarat utamanya, kita harus beranjak dari segala modus politik primitive seperti memperalat agama yang mematikan rasionalitas politik dan beresiko menimbulkan keretakan.

Dengan demikian kualitas demokrasi akan meninggi dalam kerangka fastabiqul khairat disokong politik gagasan yang berkemajuan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement