Kamis 01 Feb 2024 16:35 WIB

Aramco Arab Saudi akan Hentikan Rencana Ekspansi Minyak

Arab Saudi masih menjadi pemegang utama cadangan minyak di dunia.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Pemerintah Arab Saudi memerintahkan perusahaan minyak negara Aramco untuk menghentikan rencana ekspansi minyaknya dan mempertahankan kapasitas berkelanjutan maksimum pada 12 juta barel per hari.
Foto: www.pixabay.com
Pemerintah Arab Saudi memerintahkan perusahaan minyak negara Aramco untuk menghentikan rencana ekspansi minyaknya dan mempertahankan kapasitas berkelanjutan maksimum pada 12 juta barel per hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Arab Saudi memerintahkan perusahaan minyak negara Aramco untuk menghentikan rencana ekspansi minyaknya dan mempertahankan kapasitas berkelanjutan maksimum pada 12 juta barel per hari (bph), alih-alih meningkatkannya menjadi 13 juta bph. 

Arab Saudi selama beberapa dekade telah menjadi pemegang utama satu-satunya kapasitas minyak cadangan yang signifikan di dunia, menyediakan bantalan pengaman untuk pasokan global jika terjadi gangguan besar yang disebabkan oleh konflik atau bencana alam. Dalam beberapa tahun terakhir, sesama anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Uni Emirat Arab, juga telah membangun kapasitas cadangan.

Baca Juga

Kerajaan ini adalah eksportir minyak terbesar di dunia dan memompa sekitar 9 juta barel per hari, jauh di bawah kapasitas yang ada saat ini yaitu sekitar 12 juta barel per hari setelah memangkas produksi sebagai bagian dari kesepakatan dengan OPEC dan sekutunya tahun lalu.

Arab Saudi, pemimpin de facto OPEC, dan Rusia telah memelopori upaya dengan sekutu-sekutunya dalam kelompok produsen OPEC+ untuk memangkas produksi guna menyeimbangkan pasar dalam menghadapi peningkatan pasokan dari produsen minyak besar lainnya, seperti Amerika Serikat.

Seorang sumber yang mengetahui masalah ini, mengatakan bahwa Aramco saat ini memiliki kapasitas cadangan sebesar 3 juta barel per hari. Hal ini memberi Aramco banyak ruang untuk meningkatkan produksi jika pasar membutuhkan minyak. 

“Jika diperlukan, Saudi Aramco selalu dapat meningkatkan target kapasitasnya di kemudian hari. Jika pemerintah memutuskan untuk melakukan hal yang sebaliknya, perusahaan sudah siap,” kata seorang sumber yang mengetahui masalah ini, seperti dikutip Reuters, Kamis (1/2/2024).

Menurut sumber tersebut, penurunan target Aramco tidak mencerminkan perubahan dalam pandangan Saudi mengenai permintaan minyak di masa depan, atau berasal dari masalah teknis apa pun. 

Sementara itu, Jamie Ingram, editor senior di Middle East Economic Survey, menilai keputusan untuk membatalkan target tersebut menunjukkan bahwa Riyadh tidak terlalu yakin bahwa dunia akan membutuhkan begitu banyak kapasitas tambahan dan bahwa investasi yang diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan 13 juta bph lebih baik dihabiskan di tempat lain.

Dia mencatat bahwa awal bulan ini Aramco menggandakan pendanaannya untuk perusahaan modal ventura, Aramco Ventures, dari 3 miliar dolar AS menjadi 7 miliar dolar AS.

OPEC memiliki pandangan yang lebih positif terhadap pertumbuhan permintaan minyak dibandingkan para forecaster lain, namun memperkirakan bahwa sebagian besar peningkatan permintaan selama dua tahun ke depan akan dipenuhi oleh suplai minyak mentah dari para produsen non-OPEC+.

Dalam laporan bulanan, OPEC memperkirakan bahwa permintaan minyaknya akan tumbuh sekitar 1,3 juta barel per hari pada akhir 2025. Ini berarti kelompok produsen hanya akan dapat mengurangi sepertiga dari pemangkasan OPEC saat ini yang hampir mencapai 4 juta bph.

Hal ini akan membuat Arab Saudi dan UEA memiliki kapasitas cadangan yang cukup besar pada akhir 2025. Patokan minyak mentah berjangka Brent sedikit berubah pada Selasa, diperdagangkan naik 0,9 persen pada 83,12 dolar AS per barel pada pukul 18.00 WIB.

Saham Aramco ditutup naik 0,2 persen pada 31,30 riyal. Saham penyedia jasa ladang minyak terkemuka SLB jatuh sekitar 7 persen dan saham-saham saingannya di Amerika Serikat juga jatuh karena berita ini.

Di sisi lain, Aramco telah berjanji untuk mencapai emisi karbon "operational net-zero" pada tahun 2050. Hal ini berlaku untuk emisi yang dihasilkan langsung oleh lokasi industri Aramco, tetapi tidak untuk CO2 yang dihasilkan ketika klien membakar minyak Saudi di mobil, pembangkit listrik, dan tungku mereka.

Menjelang pembicaraan perubahan iklim COP28 di Dubai tahun lalu, Arab Saudi termasuk di antara suara-suara paling lantang yang menyerukan lebih banyak investasi dalam produksi bahan bakar fosil, dengan mengatakan bahwa hal itu diperlukan untuk memerangi kemiskinan energi di wilayah-wilayah seperti Afrika.

Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman menyuarakan penentangan keras terhadap kesepakatan apa pun yang muncul dari pembicaraan yang secara eksplisit menyebutkan "pengurangan" atau "penghentian" bahan bakar fosil.

Pada akhirnya, hampir 200 negara mengadopsi kesepakatan yang menyatakan bahwa dunia akan "beralih dari bahan bakar fosil" untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. Pangeran Abdulaziz mengerdilkan makna penting teks tersebut, bersikeras bahwa hal itu tidak akan berdampak pada ekspor dan tidak membebankan apa pun pada negara-negara penghasil minyak.

Setelah serangkaian pengurangan pasokan minyak sejak Oktober 2022, produksi harian Arab Saudi mencapai sekitar sembilan juta barel per hari, jauh di bawah kapasitasnya yang sebesar 12 juta barel per hari. Aramco melaporkan rekor laba pada tahun 2022 setelah invasi Rusia ke Ukraina membuat harga minyak melonjak, sehingga Arab Saudi mencatat surplus anggaran pertamanya dalam hampir satu dekade.

Harga yang lebih rendah mengakibatkan penurunan laba tahun-ke-tahun sebesar 23 persen pada kuartal ketiga, 38 persen pada kuartal kedua dan 19,25 persen pada kuartal pertama tahun lalu, dengan laba kuartal keempat yang belum diumumkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement