REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergeseran ke arah sistem pangan global yang lebih berkelanjutan dapat menghasilkan keuntungan hingga 10 triliun dolar AS, meningkatkan kesehatan manusia, dan meringankan krisis iklim. Hal ini merujuk pada studi yang dilakukan oleh Food System Economics Commission yang dibentuk oleh Postdam Institute, Food and Land Use Coalition, dan EAT -sebuah koalisi sistem pangan holistik yang terdiri dari Stockholm Resilience Centre, Wellcome Trust, dan Strawberry Foundation.
Studi ini menemukan bahwa sistem pangan yang ada saat ini menghancurkan lebih banyak nilai, daripada yang mereka ciptakan karena biaya lingkungan dan medis yang tak terhitung. Ini pada dasarnya meminjam dari masa depan untuk mengambil keuntungan hari ini.
Sistem pangan mendorong sepertiga emisi gas rumah kaca global, menempatkan dunia pada jalur pemanasan 2,7 derajat Celcius pada akhir abad ini. Hal ini menciptakan lingkaran setan, karena suhu yang lebih tinggi membawa cuaca yang lebih ekstrem dan kerusakan yang lebih besar pada panen.
Kerawanan pangan juga membebani sistem medis. Studi ini memperkirakan bahwa pendekatan bisnis seperti biasa akan menyebabkan 640 juta orang kekurangan berat badan pada tahun 2050, sementara obesitas akan meningkat sebesar 70 persen.
“Mengarahkan kembali sistem pangan akan menjadi tantangan politik tetapi membawa manfaat ekonomi dan kesejahteraan yang besar. Sistem pangan global memegang masa depan umat manusia di Bumi,” kata Johan Rockstrom dari Potsdam Institute for Climate Impact Research dan salah satu penulis studi, seperti dilansir Guardian, Kamis (1/2/2024).
Studi ini mengusulkan pergeseran subsidi dan insentif pajak dari monokultur skala besar yang merusak yang bergantung pada pupuk, pestisida dan pembukaan hutan. Sebaliknya, insentif keuangan harus diarahkan kepada petani kecil yang dapat mengubah pertanian menjadi penyerap karbon dengan lebih banyak ruang untuk satwa liar.
Perubahan pola makan adalah elemen kunci lainnya, bersama dengan investasi dalam teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi emisi. Dengan berkurangnya kerawanan pangan, menurut laporan tersebut, kekurangan gizi dapat diatasi pada tahun 2050, dengan 174 juta kematian dini yang lebih sedikit, dan 400 juta pekerja pertanian dapat memperoleh penghasilan yang memadai.
Transisi yang diusulkan akan membantu membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan mengurangi separuh limpasan nitrogen dari pertanian. Secara keseluruhan, mereka memperkirakan biaya transformasi antara 0,2 persen dan 0,4 persen dari PDB global per tahun.
Pada penelitian awal, Rockstrom dan rekan-rekannya menemukan bahwa makanan merupakan sektor ekonomi terbesar yang melanggar batas-batas planet. Selain itu, sektor ini juga merupakan pendorong utama perubahan penggunaan lahan dan penurunan keanekaragaman hayati, serta bertanggung jawab atas 70 persen penurunan air tawar.
Para peneliti memperkirakan biaya tersembunyi dari pangan, termasuk perubahan iklim, kesehatan manusia, nutrisi dan sumber daya alam, sebesar 15 triliun dolar AS. Selain itu, mereka juga menciptakan model baru untuk memproyeksikan bagaimana biaya tersembunyi ini dapat berkembang dari waktu ke waktu, tergantung pada kemampuan manusia untuk berubah. Perhitungan mereka sejalan dengan laporan tahun lalu dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), yang memperkirakan biaya agrifood yang tidak tercatat di buku mencapai lebih dari 10 triliun dolar AS di seluruh dunia pada tahun 2020.
"Analisis ini memberikan gambaran pertama tentang peluang ekonomi regional dan global dalam mentransformasi sistem pangan. Meskipun tidak mudah, transformasi ini terjangkau dalam skala global dan akumulasi biaya di masa depan jika tidak melakukan apa-apa akan menimbulkan risiko ekonomi yang cukup besar,” kata Dr Steven Lord, pakar iklim dari University of Oxford.
Banyak penelitian lain yang telah menunjukkan manfaat kesehatan dan iklim dari pergeseran menuju pola makan nabati. Sebuah laporan tahun lalu dari Climate Observatory mencatat bahwa industri daging sapi di Brasil dan deforestasi yang terkait dengannya, kini memiliki jejak karbon yang lebih besar daripada seluruh mobil, pabrik, pendingin ruangan, gawai listrik, dan sumber emisi lainnya di Jepang.
Studi baru ini tidak bersifat preskriptif tentang vegetarianisme, tetapi Rockstrom mengatakan bahwa permintaan daging sapi dan sebagian besar daging lainnya akan turun jika biaya kesehatan dan lingkungan yang tersembunyi dimasukkan ke dalam harga.
Nicholas Stern, ketua Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment di London School of Economics, menyambut baik penelitian ini. Ia mengatakan bahwa mengubah cara produksi dan konsumsi makanan sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, dan membangun masa depan yang lebih baik.
“Inilah saatnya untuk melakukan perubahan radikal,” kata Stern.