REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia mengeluarkan peraturan tentang penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) melalui Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaran Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres ini memperbolehkan operator CCS untuk menyisihkan 30 persen dari kapasitas penyimpanan mereka untuk karbon dioksida impor.
Peraturan yang mulai berlaku pada Selasa itu menyatakan, kontraktor minyak dan gas dapat memanfaatkan reservoir atau akuifer yang habis untuk operasi CCS di blok mereka, yang menurut pemerintah berpotensi menyimpan lebih dari 400 gigaton setara CO2.
Pemerintah Indonesia akan mengumpulkan royalti dari biaya penyimpanan yang dibebankan oleh operator CCS. Karbon dioksida (CO2) yang disimpan untuk operasi CCS dapat berasal dari emisi oleh kegiatan hulu minyak dan gas, kilang, pembangkit listrik dan oleh kegiatan industri dari Indonesia dan luar negeri.
“Perusahaan yang mengoperasikan CCS dapat mengalokasikan 30 persen dari total kapasitas penyimpanan karbon mereka untuk penyimpanan karbon yang berasal dari luar negeri,” demikian menurut perpres tersebut seperti dilansir Reuters, Jumat (2/2/2024).
Untuk menyimpan karbon dari luar negeri, pemerintah hanya akan mengizinkan penghasil emisi yang telah berinvestasi di Indonesia, atau yang berafiliasi dengan perusahaan yang telah berinvestasi. Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga harus memiliki perjanjian bilateral dengan pemerintah tempat emisi berasal.
BP pada bulan November meluncurkan pembangunan proyek penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon di provinsi Papua Barat. Tidak hanya itu, Pertamina juga telah membuat kesepakatan dengan perusahaan minyak AS Exxon Mobil dan Chevron untuk membahas investasi proyek CCS di Indonesia.
Data kementerian energi menunjukkan ada 15 proyek CCS dan CCUS dalam berbagai tahap persiapan di negara ini dengan investasi gabungan hampir 8 miliar dolar AS, termasuk proyek BP.