Rabu 07 Feb 2024 07:02 WIB

Blue Food Solusi Atasi Krisis Pangan di Masa Depan

Ancaman terhadap krisis pangan masa depan sepertinya sulit untuk dihindari.

Ikan salah satu sumber daya yang dapat pulih kembali.
Foto: Republika
Ikan salah satu sumber daya yang dapat pulih kembali.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Riza Rahman Hakim, S.Pi, M.Sc, Dosen Prodi Akuakultur/Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang

Saat ini dunia telah mengalami krisis pangan yang cukup serius. Berdasarkan Global Report on Food Crises (GRFC) 2023, lebih dari 20 juta orang dari 48 negara menghadapi kerawanan pangan akut tingkat tinggi, dan mengalami peningkatan 10 persen dari tahun sebelumnya (2022).

Penyebab utama kenaikan ini adalah konflik antar negara yang terus menerus, cuaca ekstrem, dan guncangan ekonomi. Kondisi ini memicu setiap negara untuk berlomba mencari sumber pangan baru bagi penduduknya.

Trend global sekarang yang muncul adalah sumber pangan biru yang dikenal dengan istilah blue food, yang dianggap sebagai solusi krisis pangan masa depan. Bahkan dalam acara KTT G20 di Bali 2022, blue food menjadi salah satu topik diskusi yang digagas oleh Think20 (T-20) atau jaringan pemikir G20, dengan merekomendasikan reformasi kebijakan yang saat ini menghambat transisi dari pangan konvensional menuju ke blue food.

Ancaman terhadap krisis pangan masa depan sepertinya sulit untuk dihindari, mengingat sekarang telah terjadi perubahan iklim global, meningkatnya populasi manusia yang menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia diproyeksikan mencapai 8,5 miliar orang pada 2030. Dan ini diprediksi akan adanya peningkatan kebutuhan protein hingga 70%.

Kehadiran konsep blue food ini sangat tepat, karena diharapkan menjadi solusi terhadap persoalan pangan dunia saat ini dan masa mendatang. blue food merupakan bahan pangan/makanan yang berasal dari sumberdaya air seperti ikan, rumput laut, dan organisme akuatik lainnya, baik hasil dari budidaya maupun tangkapan di laut dan perairan tawar.

Melihat kondisi pemanfaatan sumberdaya pangan yang terlalu ekploitatif dan cenderung merusak, serta hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi semata, maka munculnya konsep blue food memiliki harapan untuk menjamin ketahanan pangan dan keberlanjutan sumberdaya khususnya perikanan dan kelautan.

Keunggulan Blue Food

Blue food hadir sebagai bagian dari gerakan untuk mempromosikan sumberdaya pangan yang berkelanjutan. Konsep ini erat kaitannya dengan produk perikanan budidaya yang bertujuan mengurangi penangkapan ikan di alam agar populasinya berkelanjutan. Beberapa keunggulan blue food di antaranya: Pertama, blue food dapat menjadi alternatif sumber pangan berkelanjutan di masa depan. Konsep pangan biru ini terkait erat dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) ke-14, yakni Life Below Water, yang mengedepankan bagaimana mengelola ekosistemnya, tata kelola yang efektif sampai dengan pemanfaatannya.

Dunia sedang membutuhkan sumber pangan yang berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini diperkuat oleh analisis World Resources Institute (WRI), United Nations (UN), bahwa dunia membutuhkan tambahan pasokan pangan lebih dari 56 persen.

Tentu tidak cukup jika hanya mengandalkan pertanian daratan, yang lahannya mulai terbatas dan tidak mungkin diperluas. Sehingga membutuhkan pangan biru sebagai solusi dalam soal pangan ini. Disinilah peran penting blue food sebagai solusi dalam persoalan malnutrisi, membangun sistem pangan yang sehat dan positif terhadap alam, dan relatif tahan terhadap perubahan iklim.

Kedua, blue food merupakan sumber protein hewani yang rendah emisi karbon. Persoalan tentang produksi jejak karbon dalam makanan cukup menarik untuk dipaparkan.

Seperti diketahui, produksi pangan global bertanggung jawab atas 30% dari semua emisi gas rumah kaca (emisi karbon) yang disebabkan oleh manusia. Dan sebanyak 86% proporsi jumlah emisi gas rumah kaca ini dihasilkan oleh bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. Hasil penelitian Stephen Clune, dkk (2017) dan Environmental Working Group (EWG), dinyatakan bahan makanan yang menghasilkan emisi karbon terbesar adalah daging (sapi dan domba), kemudian diikuti oleh ayam.

Sebanyak 90% emisi karbon dari daging sapi tersebut dihasilkan saat proses produksi, yaitu mulai penyediaan pakan ternak, proses pencernaan hewan ternak (digestion) dan juga kotoran yang dihasilkannya. Sedangkan ikan yang dibudidayakan (fish farmed) memiliki jejak karbon yang jauh lebih rendah dibanding sapi dan domba. Hal ini tentu menjadi pilihan untuk memilih makanan tinggi protein dengan jejak karbon terendah.

Ketiga, sumber bahan pangan yang memiliki kandungan gizi sangat baik. Persoalan stunting seperti di Indonesia mestinya tidak perlu terjadi, karena negara ini memiliki sumberdaya pangan biru melimpah dengan kandungan gizi terutama protein yang tinggi.

Komoditas blue food seperti ikan dan rumput laut merupakan bahan pangan dengan nilai gizi yang baik. Keistimewaan ikan dibanding bahan pangan lainnya adalah memiliki kandungan protein dan omega-3 yang tinggi, mudah dicerna oleh tubuh, baik untuk kesehatan mata dan otak, memenuhi kebutuhan asupan vitamin D, mengurangi resiko penyakit autoimun, dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Begitupun hasil riset Golden, dkk (2021) berjudul Aquatic Foods to Nourish Nations di jurnal Nature ditegaskan, secara global, manusia mendapatkan sekitar 8% zink dan besi, 13% protein, dan 27% vitamin B12 dari blue food .

Keempat, Indonesia memiliki peluang besar sebagai produsen blue food terbesar di dunia. Pada 2023, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) melaporkan bahwa potensi blue food mencapai 115 juta ton/tahun. Yang terbesar adalah dari sektor perikanan budidaya (akuakultur) mencapai 100 juta ton dan sisanya 15 juta ton dari perikanan tangkap.

Pada 2021, blue food juga menjadi salah satu sumber devisa negara Indonesia dengan nilai mencapai 4,5 miliar dolar AS. Sayangnya Indonesia yang merupakan negara maritim dan kaya potensi blue food dinilai masih belum mengoptimalkan potensi sumberdaya yang ada.

Optimalisasi pemanfaatan potensi blue food dari perairan laut payau dan tawar harus menjadi salah satu prioritas dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan. Sehingga bisa mengurangi impor hasil laut yang selama ini masih terjadi. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, pada periode Januari- November 2022 nilai ekspor perikanan mencapai US$ 5,71 miliar dan nilai impornya sebanyak US$ 0,64 miliar. Ada 5 komoditas utama yang dihasilkan, yaitu udang, tuna/cakalang/tongkol, cumi/sotong/gurita, rumput laut, dan rajungan/kepiting.

Kelima, komoditasnya merupakan sumber daya yang dapat pulih kembali (renewable resources), artinya apabila sumberdaya tersebut diambil sebagian, maka sebagian yang tertinggal memiliki kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan jalan berkembang biak. Sumber daya ikan memang unik, selain renewable, sumber daya ikan juga bersifat “open access’’ dan “common property”, yang berarti dalam pemanfaatannya bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum.

Meskipun demikian, sumber daya ikan juga bersifat terbatas. Sehingga cara pemanfaatannya tidak boleh eksploitatif dan merusak, karena akan berdampak pada lambatnya kemampuan untuk pulih dan bisa mengarah pada kepunahan. Karena itu diperlukan regulasi yang tepat demi keberlanjutan sumberdaya tersebut.

Dengan berbagai keunggulan yang ada, maka bisa menjadi bukti empiris bahwa blue food merupakan pilihan yang tepat sebagai sumber pangan berkelanjutan bagi dunia, yang berdampak positif pada aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Untuk mewujudkannya tentu diperlukan strategi pengelolaan yang komprehensif dan terukur.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement