REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Australia berencana untuk meluncurkan serangkaian insentif keuangan untuk mendorong investasi di sektor energi bersih lokal. Langkah ini juga bertujuan untuk mencegah agar pendanaan dan aset yang ada tidak ditarik ke luar negeri melalui subsidi di AS dan Eropa.
Seperti halnya negara-negara di seluruh dunia maju, Australia menanggapi insentif energi bersih yang sangat besar dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi senilai 430 miliar dolar AS dari Presiden AS Joe Biden, dan European Green Deal dari Komisi Eropa.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, mengatakan bahwa jika Australia berambisi menjadi negara adidaya energi terbarukan, pemerintah harus menjadi mitra dalam hal ini, bukan hanya sebagai pengamat.
"Kita tidak perlu mengeluarkan uang dalam jumlah besar, namun kita dapat bersaing dalam hal kualitas dan dampak dari kebijakan-kebijakan. Terkait semua ini, kita harus siap untuk berpikir ekstra," kata Albanese seperti dilansir Reuters, Sabtu (17/2/2024).
Menurut laporan Australian Financial Review, skema pemerintah Australia kemungkinan besar merupakan kombinasi dari subsidi dan investasi bersama.
Sementara itu, pada Jumat, Australia telah mengklasifikasikan nikel sebagai mineral penting, membuka jalan bagi industri yang dilanda krisis untuk mengakses miliaran dolar dalam bentuk dukungan pemerintah.
Sektor nikel di Negeri Kanguru ini menghadapi ribuan pemutusan hubungan kerja, setelah lonjakan suplai dari Indonesia menyebabkan harga nikel anjlok 40 persen dalam setahun.
Skema ini akan menjadi terbaru dalam serangkaian upaya yang dilakukan pemerintahan Partai Buruh yang berhaluan kiri-tengah, untuk menghidupkan kembali manufaktur atau mendorong industri baru, termasuk Dana Rekonstruksi Nasional senilai 15 miliar dolar Australia dan suntikan baru sebesar 500 juta dolar Australia pada tahun lalu untuk mineral penting.