REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut gas beracun SO2 atau sulfur dioksida di kawah Gunung Marapi yang terletak di Sumatera Barat cenderung menurun secara fluktuatif.
"Setelah 26 Desember 2023 laju emisi (fluks) gas SO2 Gunung Marapi dari Satelit Sentinel memperlihatkan kecenderungan menurun secara fluktuatif," kata Kepala PVMBG Hendra Gunawan melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Padang, Sabtu (2/3/2024).
Hal tersebut disampaikan Hendra Gunawan terkait evaluasi Gunung Marapi periode 22-29 Februari 2024. Hendra mengatakan bahwa terakhir kali gas beracun (SO2) terdeteksi oleh satelit sebesar 775 ton per hari pada 29 Februari 2024. PVMBG menegaskan berdasarkan hasil evaluasi, aktivitas gunung api itu masih tergolong tinggi.
Ia menjelaskan apabila pasokan magma dari kedalaman terus berlangsung dan cenderung meningkat, maka erupsi dapat terjadi dengan energi yang lebih besar. Potensi ancamannya berupa lontaran material vulkanik berukuran batu (bom), lapili atau pasir diperkirakan dapat menjangkau wilayah radius 4,5 kilometer dari pusat erupsi atau Kawah Verbeek.
"Potensi atau ancaman abu erupsi dapat menyebar lebih luas dan tergantung pada arah maupun kecepatan angin," ujar dia.
Tidak hanya itu, material erupsi yang jatuh dan terendap di bagian puncak maupun lereng Gunung Marapi dapat menjadi lahar saat bercampur dengan air hujan. Selain itu, juga terdapat potensi bahaya banjir lahar pada aliran sungai-sungai yang berhulu di bagian puncak Gunung Marapi.
"Masih terdapat potensi bahaya dari gas-gas vulkanik beracun seperti karbon dioksida, karbon monoksida, sulfur dioksida hingga hidrogen sulfida di area kawah atau puncak Gunung Marapi," kata dia menegaskan.
PVMBG mengimbau masyarakat di sekitar Gunung Marapi termasuk pengunjung agar tidak memasuki dan beraktivitas di dalam radius 4,5 kilometer dari pusat erupsi atau Kawah Verbeek.