Rabu 06 Mar 2024 15:13 WIB

Masalah Limbah Fesyen Dinilai akan Terus Berkembang, Ini Alasannya

Limbah tekstil dinilai menjadi masalah yang serius karena sulit diproses.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Tidak seperti sampah rumah tangga, yang lebih mungkin dikumpulkan dan diproses oleh pemerintah daerah, tidak ada yang secara langsung bertanggung jawab untuk mengumpulkan atau memproses limbah tekstil.
Foto: www.freepik.com
Tidak seperti sampah rumah tangga, yang lebih mungkin dikumpulkan dan diproses oleh pemerintah daerah, tidak ada yang secara langsung bertanggung jawab untuk mengumpulkan atau memproses limbah tekstil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di sebuah pekarangan berdebu di tepi padang pasir sekitar 160 kilometer dari Expo City Dubai, tempat berlangsungnya COP28, 20 ton sampah tekstil membusuk, pakaian-pakaian yang tumpah keluar dari bal-bal yang dibungkus plastik. Kehadirannya menggarisbawahi tantangan yang dihadapi industri fesyen dalam hal mengumpulkan, menyortir, mendaur ulang pakaian.

Asal muasal sampah tersebut tidak diketahui secara pasti, demikian menurut pemerhati fashion Dubai, Anita Nouri. Namun, hal ini bukanlah hal aneh di perdagangan global dalam mengangkut pakaian bekas atau pakaian yang tidak diinginkan dari satu pasar ke pasar lainnya tanpa memberikan tanggung jawab kepada siapa pun - baik jenama, peritel, maupun eksportir - atas apa yang terjadi pada pakaian-pakaian tersebut.

Baca Juga

Uni Emirat Arab (UEA) adalah salah satu importir pakaian bekas terbesar di dunia, menurut OEC, dan ada lebih dari 40 "zona bebas multidisiplin" di negara ini: area di mana investor asing dapat memiliki kepemilikan penuh atas perusahaan mereka dan sekarang dikenal sebagai titik-titik utama untuk mengimpor pakaian bekas karena adanya pengecualian finansial dan peraturan independen. Zona bebas telah menimbulkan masalah dengan limbah di negara-negara lain dan di Gurun Atacama Chili, sekitar 60 ribu ton limbah tekstil menumpuk - sisa-sisa yang tidak dapat dijual yang diimpor melalui zona bebas Alto Hospicio.

Patsy Perry, pakar fashion marketing di Manchester Metropolitan University, mengatakan bahwa hal ini menjadi masalah yang terus berkembang.