Kamis 14 Mar 2024 21:43 WIB

Emisi Karbon Rusia Dilaporkan Terus Meningkat

Rusia menjadi penghasil emisi karbon terbesar keempat di dunia.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Orang-orang Rusia yang mengenakan masker pelindung karena polusi (ilustrasi).
Foto: EPA-EFE/YURI KOCHETKOV
Orang-orang Rusia yang mengenakan masker pelindung karena polusi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warga Rusia akan memilih presiden pada 15-17 Maret dalam pemilu yang tampaknya akan membuat Vladimir Putin kembali menjabat sebagai presiden selama enam tahun lagi. Jika Putin kembali memimpin, Rusia yang kini menjadi penghasil emisi karbon terbesar keempat di dunia, diprediksi akan terus menjadi pencemar.

Pada awal pemerintahannya, Putin bercanda bahwa kenaikan suhu 2-3 derajat Celcius mungkin akan baik bagi Rusia karena rakyatnya akan mengurangi pengeluaran untuk membeli mantel bulu. Namun kemudian dia memperingatkan tentang kenaikan suhu, hingga pada 2015 menyebut pemanasan planet sebagai masalah yang akan mempengaruhi masa depan seluruh umat manusia.

Baca Juga

Putin telah menetapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 dan mencapai net zero pada 2060 - menyeimbangkan emisi yang dikeluarkan dengan penyerapan CO2 melalui hutan atau solusi lainnya.

Namun, terlepas dari janji-janji ini, emisi Rusia terus meningkat. Bauran listrik di Rusia juga didominasi oleh gas, hampir tidak berubah selama 24 tahun Putin berkuasa.

Mikhail Korostikov, seorang analis Rusia di Climate Bonds Initiative, sebuah organisasi yang mempromosikan investasi rendah karbon, mengatakan kepada Climate Home bahwa Putin jelas-jelas tidak peduli dengan perubahan iklim.

“Perubahan iklim bukan bagian dari agenda Putin,” kata Korostikov seperti dilansir Climate Change News, Kamis (14/3/2024).

Sesaat sebelum dunia mengadopsi Perjanjian Paris untuk mengatasi pemanasan global pada 2015, Putin mengumumkan bahwa Rusia akan mengurangi emisi sebesar 25-30 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 pada 2030.

Berdasarkan Perjanjian Paris, negara-negara seharusnya meningkatkan ambisi rencana iklim mereka setiap lima tahun. Jadi pada tahun 2020, Putin meningkatkan targetnya menjadi pengurangan setidaknya 30 persen. Tahun berikutnya, ia mengatakan bahwa Rusia akan mencapai titik nol pada tahun 2060.

Namun, target 2030 tidak seambisius kelihatannya. Seperti kebanyakan negara Soviet lainnya, emisi Rusia anjlok pada awal 1990-an ketika Uni Soviet bubar dan ekonomi merosot. Pada akhir 1990-an, ketika Putin berkuasa, emisinya sudah 25 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990.

Emisi kemudian tumbuh secara perlahan selama Putin berkuasa, sehingga ketika ia menyampaikan pidatonya pada tahun 2015, Putin hanya menjanjikan pengurangan 1 persen dalam 15 tahun hingga 2030 atau membiarkan emisi benar-benar meningkat jika efek dari hutan yang menyerap karbon juga ikut diperhitungkan.

Climate Action Tracker (CAT), sebuah proyek ilmiah independen yang memantau target dan kebijakan iklim pemerintah, menyebut target 2030 Rusia sangat tidak memadai karena target tersebut dapat dicapai dengan mudah dengan kebijakan yang ada saat ini.

Emisi Rusia terus meningkat hingga pandemi Covid-19, yang untuk sementara waktu menghentikan pertumbuhan di sana dan di belahan dunia lainnya. Menurut analisis CAT, emisi ekonomi Rusia diperkirakan akan terus meningkat lagi hingga tahun 2030, ketika emisi tersebut seharusnya menurun dengan cepat, terutama untuk negara penghasil emisi yang besar.

Laporan ini juga mencatat bahwa Strategi Energi Rusia hingga tahun 2035, yang diadopsi pada tahun 2021, berfokus hampir secara eksklusif pada peningkatan ekstraksi, konsumsi, dan ekspor bahan bakar fosil ke seluruh dunia.

“Seperti kebanyakan negara, sebagian besar emisi Rusia berasal dari pembakaran bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik. Pada masa Putin berkuasa, bauran energi Rusia sebagian besar tidak berubah, begitu pula dengan tingkat emisinya,” kata CAT.

 

Prioritas geopolitik

Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022, perubahan iklim semakin tidak menjadi prioritas bagi pemerintah Rusia, dan isu ini tidak ada dalam kampanye pemilu. Pemerintah Barat menggambarkan Putin - pemimpin Kremlin terlama sejak Josef Stalin - sebagai penjahat perang dan diktator. Namun, jajak pendapat di Rusia memberikan peringkat persetujuan sebesar 85 persen, lebih tinggi daripada sebelum invasi ke Ukraina.

Dengan melonjaknya pengeluaran militer dan boikot internasional terhadap bahan bakar fosil Rusia akibat perang Ukraina yang berdampak pada pendapatan pemerintah, anggaran untuk program-program lingkungan hidup negara dipotong tahun ini.

Program-program tersebut termasuk Proyek Federal Udara Bersih yang bertujuan mengurangi polusi udara di puluhan kota industri, dan Proyek Federal Wilayah Bersih yang bertujuan untuk menghilangkan lokasi limbah beracun.

Para analis mengatakan bahwa pemilu mendatang tidak diragukan lagi akan menguntungkan Putin, sehingga ia dapat mempertahankan masa jabatannya.

"Putin memiliki beberapa pesaing. Tapi tak satu pun dari mereka akan mendapatkan lebih dari 1 atau 2 persen suara," kata Korostikov dari Climate Bonds Initiative, seraya menambahkan bahwa pemanasan global bukanlah masalah bagi sebagian besar pemilih.

"Tidak ada yang khawatir tentang perubahan iklim. Masyarakat peduli dengan ekologi. Namun, ketika menyangkut iklim, orang-orang tidak peduli karena perubahan iklim tidak terasa di Rusia," tambah dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement