REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap tahun, musim hujan di Asia Selatan membawa hujan deras bagi lebih dari satu miliar orang di anak benua India antara bulan Juni dan September. Hujan turun secara berfluktuasi, beberapa pekan ada yang turun 2 hingga 10 centimeter air, sementara pekan-pekan lainnya sebagian besar kering.
Memprediksi kapan periode kering dan basah ini dinilai penting untuk perencanaan pertanian dan perkotaan, sehingga memungkinkan para petani untuk mengetahui kapan harus memanen tanaman dan membantu untuk mempersiapkan diri menghadapi banjir. Namun, meskipun prediksi cuaca sebagian besar akurat dalam satu atau dua hari, memprediksi cuaca untuk sepekan atau sebulan ke depan sangatlah sulit.
Kini, sebuah prakiraan baru berbasis pembelajaran mesin (machine learning) telah terbukti dapat memprediksi curah hujan monsun di Asia Selatan dengan lebih akurat 10 hingga 30 hari sebelumnya. Memahami perilaku monsun juga penting karena jenis curah hujan ini merupakan fitur atmosfer utama dalam iklim global.
Penelitian ini dipimpin oleh Eviatar Bach, Foster and Coco Stanback Postdoctoral Scholar Research Associate di bidang Ilmu dan Teknik Lingkungan, yang bekerja di laboratorium Tapio Schneider; Profesor Ilmu dan Teknik Lingkungan Theodore Y Wu; dan Andrew Stuart, Profesor Ilmu Komputasi dan Matematika Bren. Studi ini dipublikasikan di jurnal Prosiding National Academy of Sciences.
"Ada banyak kekhawatiran tentang bagaimana perubahan iklim akan mempengaruhi musim hujan dan peristiwa cuaca lainnya seperti badai, gelombang panas, dan sebagainya. Meningkatkan prediksi dalam jangka waktu yang lebih pendek merupakan bagian penting dalam menanggapi perubahan iklim karena kita harus dapat meningkatkan kesiapsiagaan untuk peristiwa-peristiwa ini,” kata Bach seperti dilansir Phys, Jumat (5/4/2024).
Memprediksi cuaca sulit dilakukan karena atmosfer mengandung banyak ketidakstabilan, misalnya karena proses konveksi atmosfer, serta ketidakstabilan yang disebabkan oleh pemanasan yang tidak merata dan rotasi bumi. Ketidakstabilan ini menyebabkan situasi yang kacau di mana kesalahan dan ketidakpastian dalam pemodelan perilaku atmosfer berlipat ganda, sehingga hampir tidak mungkin untuk memprediksi lebih jauh ke masa depan.
Model mutakhir saat ini menggunakan pemodelan numerik, yang merupakan simulasi komputer atmosfer berdasarkan persamaan fisika yang menggambarkan pergerakan fluida. Karena adanya kekacauan, waktu maksimum yang dapat diprediksi untuk cuaca berskala besar biasanya sekitar 10 hari.
Memprediksi perilaku rata-rata jangka panjang atmosfer, yaitu iklim, juga dapat dilakukan, tetapi memprediksi cuaca dalam interval waktu antara dua pekan hingga beberapa bulan menjadi tantangan tersendiri dengan model numerik.
Pada musim hujan di Asia Selatan, hujan cenderung turun dalam siklus curah hujan yang tinggi yang diikuti oleh musim kemarau. Siklus ini dikenal sebagai osilasi intramusim monsum (MISO). Dalam penelitian baru ini, Bach dan kolaboratornya menambahkan komponen pembelajaran mesin pada model numerik yang ada saat ini.
Hal ini memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan data tentang MISO dan membuat prediksi yang lebih baik tentang curah hujan dalam skala waktu dua hingga empat minggu yang sulit dipahami. Model yang dihasilkan mampu meningkatkan korelasi prediksi dengan observasi hingga 70 persen.
"Dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat untuk menggunakan pembelajaran mesin untuk prediksi cuaca. Penelitian kami menunjukkan bahwa kombinasi pembelajaran mesin dan pemodelan numerik yang lebih tradisional dapat menghasilkan hasil yang akurat,” kata Bach.