Jumat 19 Apr 2024 06:45 WIB

WEF: Lahan dan Perizinan Jadi Tantangan Negara Berkembang untuk Transisi Energi

Negara berkembang harus punya strategi yang melancarkan aliran masuk investasi.

Suasana proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Suasana proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu merumuskan solusi untuk mengatasi berbagai masalah dalam percepatan transisi energi. Terutama memastikan ketersediaan lahan dengan cepat dan perizinan yang mudah, kata Anggota Komite Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF) Roberta Bocca.

Roberta Bocca yang juga Kepala Pusat Energi dan Material WEF dalam laporan ANTARA di Abu Dhabi, UEA, Kamis (18/4/2024), mengatakan, lahan dan perizinan yang cepat penting untuk memudahkan akses pendanaan dalam transisi energi.

Baca Juga

"Jadi ketersediaan lahan, perizinan yang cepat. semua hal ini sangat penting. Jadi, kebijakan dan lingkungan (ekosistem) yang memungkinkan penerapan akan mudah, dan yang terakhir, Anda juga membutuhkan modal kesabaran," kata Bocca yang ditemui di sela rangkaian Sidang Majelis Umum ke-14 Badan Energi Terbarukan (IRENA) di Abu Dhabi, UEA.

Pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, kata Bocca, penting untuk memberikan perhatian besar guna memudahkan akses modal swasta masuk dalam transisi energi. Kebijakan pemerintah harus diterapkan dengan langkah-langkah yang melancarkan aliran masuk investasi, kata dia.

Selain itu, potensi pendanaan dari lembaga keuangan multilateral juga harus dimanfaatkan pemerintah. Hal itu karena transisi energi saat ini menjadi hal yang sangat berpengaruh di global dalam setiap pengambilan kebijakan.

"Kemudian Anda mempunyai peran, yang juga dapat dimainkan oleh bank multilateral, untuk menyediakan modal tertentu," ujar dia.

Tantangan pendanaan, kata Bocca, tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, melainkan untuk banyak negara berkembang. Salah satu hal yang dapat disimpulkan dari rangkaian Sidang Majelis Umum ke-14 IRENA tahun ini adalah, diperlukan banyak sekali dukungan pendanaan bagi negara berkembang untuk mempercepat transisi energi.

Adapun Indonesia terus mengakeselerasi program transisi energi dengan target mencapai nol emisi pada 2060 atau lebih awal. Indonesia juga mengacu pada Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) untuk mengurangi emisi karbon sebesar 358 juta ton CO2 pada 2030 dengan mengembangkan energi terbarukan, efisiensi energi, bahan bakar rendah karbon, dan teknologi batu bara bersih.

Di tataran global, IRENA mendorong peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan dan dua kali lipat efisiensi energi untuk mencapai target kapasitas global pada 2030 sebesar 11 terawatts (TW) demi menjaga ambang batas 1,5 derajat celius kenaikan suhu bumi.

 

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement