REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan laporan terbaru dari PBB, perdagangan tumbuhan dan satwa liar masih kerap terjadi. Atas hal tersebut, PBB menyerukan negara-negara untuk mengambil langkah-langkah serius termasuk penegakan hukum yang lebih baik.
Meskipun penyitaan yang dilaporkan pada tahun 2020-2021 hanya sekitar setengah dari laporan sebelumnya, hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan terkait Covid-19 dan bukan penurunan jumlah perdagangan illegal. Demikian menurut laporan bertajuk World Wildlife Crime dari Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC).
Studi ini diterbitkan setiap empat tahun dan 2020-2021 adalah tahun terakhir data tersedia. "Perdagangan satwa liar secara keseluruhan belum berkurang secara substansial selama dua dekade. Ribuan spesies yang terancam punah terkena dampak perdagangan satwa liar, sebagian kecil di antaranya, seperti gajah, harimau dan badak, yang menarik sebagian besar perhatian kebijakan," kata laporan itu seperti dilansir Reuters, Senin (13/5/2024).
Kejahatan terhadap satwa liar seperti pengambilan tanaman succulent dan anggrek langka secara ilegal, serta perdagangan berbagai jenis reptil, ikan, burung, dan mamalia telah memainkan peran penting dalam kepunahan lokal maupun global. Pada 2015-2021, penyitaan 13 juta barang menunjukkan adanya perdagangan ilegal sekitar 4.000 spesies tanaman dan hewan di 162 negara dan wilayah, kata laporan UNODC. Spesies yang paling umum yang terlibat adalah karang (16 persen), buaya (9 persen), dan gajah (6 persen).