Oleh : Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
Alkisah, Plato, sang filsuf dari Yunani sekali waktu bicara soal musik. “Bentuk dan ritme dalam musik tak pernah berubah tanpa mengubah juga seluruh tatanan masyarakat,” tulisnya dalam karya masyhurnya, Republic. Plato meyakini, musik dan masyarakat tempatnya diproduksi berkelindan sangat erat satu sama lain.
Barangkali sejak awal peradaban, nyanyian dan jenis musik tertentu sudah menemani umat manusia. Bisa jadi, ia lahir bersamaan dengan bahasa. Manusia sejak lahir agaknya secara naluriah sudah punya bawaan untuk mengenali suara-suara yang indah dan tentunya yang fals juga.
Pada peradaban lama, musik dan nyanyian adalah komunikasi dua arah. Dua penyair yang saling berdendang mencoba mengalahkan satu sama lain, misalnya.
Atau ambil contoh di Kepulauan Biak Numfor di Teluk Cendrawasih, Papua. Di sana, ada tradisi namanya Wor. Ia adalah semacam nyanyian dan tarian komunal. Seorang pendendang biasanya naik kemudian melantunkan lirik-lirik sakralnya, sejurus kemudian kelompok pendengar membalas atau ikut menyanyikan lirik-lirik tersebut. Ada komunikasi di situ.
Isi nyanyiannya, tentang keindahan alam kampung mereka yang luar biasa itu, atau kisah-kisah masa lalu. Saya sukar lupa dengan satu Wor yang digubah Tete Didimus Nowar yang saya dengat di Biak beberapa tahun lalu. Ianya berkisah tentang epiknya pertempuran Amerika melawan Jepang di kepulauan itu pada Perang Dunia II. “Amyas ampero”, nyala api yang berkobar. “Myumbo dare”, pembunuhan dimana-mana.
Orang-orang tua di Biak percaya, ada Wor yang sedemikian kuat bisa jadi mantra bila dinyanyikan oleh mereka-mereka yang pribadinya tak tercela. Bisa menenangkan lautan, bisa menyusupkan ketakutan di hati musuh saat perang.
Selama ribuan tahun, demikianlah nyanyian dan musik di semua peradaban. Ia bukan sekadar soal suara yang bagus, adalah juga bagian dari rajutan kemanusiaan. Liriknya bukan “omon-omon doang”, tapi penuh makna, pesan, dan kisah. Di banyak komunitas, nyanyian kerap juga jadi penjaga memori kolektif.
Nada-nadanya tak serampangan. Dalam macapat Jawa, misalnya, nada-nada itu dibedakan seturut siklus hidup manusia dari “Mijil” alias kelahiran hingga “Megatruh” atawa putusnya jiwa dari badan. Di Turki, lazim nada adzan dibedakan antara tiap-tiap waktu shalat.
Musik dan nyanyian juga pengalaman dan ekspresi religius. Mulai dari Nabi Daud (semoga damai untuknya) yang memainkan sulingnya dan menggubah nyanyian untuk memuji Tuhan Yang Satu, namun juga kaum pagan di Makkah yang menggunakan syair-syair pemuja berhala melawan pesan Nabi Muhammad (semoga damai untuknya).
Sepanjang hikayat umat manusia, baru belakangan musik sebagian besar jadi laku yang pasif. Kebanyakan manusia baru-baru saja hanya mendengar kaset, CD, salinan digital, atau streaming; tanpa ikut serta dalam menghasilkan bebunyian indah tersebut. Musik populer seperti mencerabut kegiatan komunal penuh interaksi pada masa lalu dan membuatnya jadi pengalaman yang kebanyakan menyendiri.
Seiring peralihan ini, musik Barat juga mengalami pergeseran drastis secara lirikal. Pada 1960-an, syair-syair yang vulgar perlahan mulai masuk ke arus utama dalam musik di Amerika Serikat. Revolusi kebebasan seksual di Amerika Serikat dan Eropa masuk ke lirik-lirik lagu yang tak lagi mau terikat dengan norma kesopanan dan kepantasan. Lirik-lirik itu seperti dijejalkan ke telinga umat manusia segala umur. Industri musik menggunakan berbagai teknologi rekam yang bisa diproduksi secara massal, juga penyiaran lewat televisi, radio, internet yang daya jangkaunya jauh melampaui apapun yang pernah dicapai umat manusia sebelumnya.
Bersamaan dengan kian populernya musik Barat, muncul juga fenomena baru dalam musik: kultus individu. Para penyanyi dan pemusik demikian tinggi, terlalu tinggi, diangkat derajatnya. Konser-konser berubah jadi arena pemujaan terhadap idola-idola baru ini. Kamar-kamar remaja diisi poster mereka. Gaya hidup mereka, bahkan serusak-rusaknya, diwajarkan, diikuti. Kelompok-kelompok penggemar didirikan, mirip sekte-sekte baru.
Pada masa Rasulullah, kita tahu dari sejumlah hadits, sudah ada perempuan-perempuan yang menghasilkan uang dengan bernyanyi di perayaan-perayaan. Namun, posisi mereka saat itu tak ditinggikan, sebagian besar merupakan budak. Berbeda dengan penyanyi perempuan saat ini yang sampai-sampai diberi label “diva”, dari bahasa Latin yang artinya “dewi”. Jika dulu hanya nyanyiannya yang dijual, kini penyanyi perempuan di Barat dituntut menjual kemolekan tubuh mereka juga, dilucuti pakaiannya hingga seminim mungkin.
Musik, seperti kata Plato, sedemikian dahsyat mengubah tatanan masyarakat, membawanya terjun bebas menjauh dari norma dan nilai-nilai lama.
Dalam itu, ada gunanya perdebatan soal hukum musik dalam Islam belakangan. Meskipun perdebatan itu, seperti selama seribuan tahun ini, tak menghasilkan kesimpulan; setidaknya ia membuat kita menimbang ulang apa-apa yang kita dengar tanpa pertimbangan selama ini. Menyoal kepantasannya, menyoal manfaatnya, dan menyoal peran dan dampaknya pada peradaban manusia saat ini.