Rabu 15 May 2024 15:46 WIB

Sanad Sebagai Fondasi Intelektual Pesantren

Melalui sanad, transmisi intelektual Islam terjaga selama berabad-abad.

Santri mengaji kitab kuning.
Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Santri mengaji kitab kuning.

Oleh : Fathurrochman Karyadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) meminta saya dan Handoko F Zainsam mengisi kajian Seri Diskusi Naskah Nusantara ke-45. Forum yang digelar pada Rabu 8 Mei 2024 itu mengusung tema “Transmisi Intelektual Pesantren: Jejak Sanad Kitab Hadits Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari”.

Saya pun memohon restu kepada cicit Kiai Hasyim yang kini menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, KH Abdul Hakim Mahfudz. Beliau pun mendoakan, “Semoga bisa dimanfaatkan sebagai forum untuk menyampaikan kebenaran perjalanan sejarah rantai keilmuan yang tersambung sampai kepada Rasulullah SAW”.

Baca Juga

Tiba-tiba saya memahami bahwa sanad yang merupakan mata rantai keilmuan murid ke guru adalah fondasi utama yang membuat pesantren kokoh berdiri. Melalui sanad, transmisi intelektual Islam terjaga selama berabad-abad. Sanad ada yang berupa catatan dalam bentuk manuskrip atau dokumen oleh para pemilik ilmu yang kini terus dilestarikan dan berlangsung. Selain media tulisan, menurut Muhammad Mustafa Azami dalam Studies in Hadith Methodology and Literature, sanad ada kalanya berupa pengajaran lisan dan demonstrasi praktis.

Pada mulanya, sanad hanya diterapkan dalam disiplin ilmu hadits. Namun dalam perkembangannya, para penulis kitab pun menurunkan sanad kepada para murid-muridnya. Sementara para penulis kitab pun memiliki sanad yang terus bersambung kepada Nabi Muhammad.

Sistem jaringan sanad berkembang berbagai disiplin ilmu keislaman seperti tafsir, fikih, dan sejarah Islam. Dalam tafsir, dikenal pendekatan tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir bi al-riwayah yang menekankan pada transmisi. Studi sejarah Islam juga menggunakan model historiografi dengan al-riwayah. Sanad juga penting dalam fikih. Jaringan sanad yang lebih luas ditemukan dalam tarekat yang disebut "silsilah", yang melanjutkan hubungan hingga Nabi. Jaringan ini membentuk jaringan ulama dan pengetahuan dalam Islam (Saifuddin, 2009).

Kiai Hasyim dan Sanad

Kiai Hasyim Asy'ari (w. 1947) sebagai salah satu tokoh kunci dalam sejarah pesantren di Indonesia memiliki catatan sanad yang beragam. Mahaguru Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini mendapat sanad keilmuan dari guru besarnya, Syekh Mahfudz Tremas (w. 1920).

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, manuskrip sanad yang ditulis oleh Kiai Hasyim Asy’ari diketahui bahwa ia memperoleh sanad dari Syekh Mahfudz Tremas untuk beberapa kitab hadits. Di luar itu, masih banyak yang perlu dilakukan penelusuran lebih dalam.

Dari mata rantai itu,  Kiai Hasyim memiliki sanad sampai 22 guru untuk Kitab Sahih Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 870). Sahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj (w. 875) mencapai 20 guru ke atas. Sebanyak 23 guru sanad al-Muwaththa’ buah pena Malik bin Anas (w. 795).  Sahih Tirmidzi 23 guru, karangan Muhammad bin Isa at-Tirmidzi (w. 892). 22 guru untuk Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats (w. 888).

Selain kitab-kitab hadits, Kiai Hasyim juga mendapat banyak sanad intelektual dari Syekh Mahfudz seperti fiqh, tasawuf, dan sebagainya. Tak hanya itu, dari guru-guru lainnya, Kiai Hasyim juga memiliki mata rantai keilmuan, di antara Syekh Abdusysyakur Surabaya yang bermukim di Makkah.  

Pasca Kiai Hasyim, penyebaran sanad terus berlanjut. Dua santri Kiai Hasyim melanjutkan sanad Sahih Bukhari Muslim yakni Kiai Idris Kamali (w. 1984) dan Kiai Syamsuri Badawi (w. 2000). Pasca keduanya, pengajian sanad Bukhari Muslim diteruskan oleh Kiai Habib Ahmad (w. 2020). Selanjutnya, estafet pengajian dipegang oleh Kiai Kamuli Khudari dan Kiai Abdul Aziz Sukarto Faqih. Bahkan kini, pengajian bisa diikuti secara live streaming melalui YouTube.

Tantangan Pesantren ke Depan

Pesantren menghadapi tantangan masa depan dalam era teknologi dan perubahan sosial. Dengan segala peluang, termasuk sanad sebagai fondasi, pesantren perlu mengatasi keterbatasan akses dan keterampilan digital, menemukan keseimbangan antara tradisi dan inovasi, serta mengembangkan kurikulum yang relevan. Pelatihan tenaga pengajar dan sikap inklusif terhadap globalisasi juga menjadi kunci dalam mempertahankan relevansi pesantren di era modern.

Langkah konkret yang bisa dikerjakan, keluarga atau pewaris pesantren, kiai dan para gus, dapat melahirkan kader-kader peneliti dari kalangan santri. Mereka tidak hanya ‘mengaji’, tetapi juga ‘mengkaji’ peninggalan manuskrip dan kitab para pendiri pesantren terdahulu. Dengan langkah ini, setiap pesantren akan memiliki pusat penelitian dan pengembangan (litbang) dan ruang arsip khusus untuk menyimpan dokumen sejarahnya. Selanjutnya, dari sumber primer ini, disusunlah kurikulum khas untuk setiap pesantren yang terintegrasi dengan perkembangan teknologi, multimedia, dan digital.

Diharapkan, pesantren dan berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta, dapat membentuk jaringan kolaboratif dalam pengembangan riset dan studi inovatif. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia akan memiliki Perpustakaan Pesantren Nasional Republik Indonesia di masa depan, yang akan menyimpan berbagai data, kitab, dan salinan manuskrip dari seluruh pesantren di negeri ini. Mari kita gagas! 

*Peneliti dan Ketua Yayasan Warisan Naskah Nusantara, Jakarta

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement