REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyatakan, penentuan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa harus memperhatikan kondisi ekonomi keluarga mahasiswa. Sebab itu, dia mendesak Kemendikbudristek untuk memperbaiki tata kelola kebijakan pembiayaan pendidikan perguruan tinggi.
“Kami mendukung adanya aspirasi (mahasiswa) untuk pembenahan perguruan tinggi sehingga bisa melahirkan kebijakan yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih rasional untuk kemajuan bangsa Indonesia ini, khususnya di bidang pendidikan,” ucap Fikri dikutip dari laman Komisi X DPR RI, Rabu (29/5/2024).
Hal itu dia sorot lantaran Komisi X DPR RI menerima laporan berupa protes dari mahasiswa yang diwakili oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) terkait kenaikan UKT yang naik fantastis pada Kamis (16/5/2024). Pada saat itu, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 disebut membuat UKT semakin berat tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Sejumlah pihak menilai Permendikbud ini melahirkan adanya komersialisasi pendidikan tinggi. Oleh karena itu, mewakili Komisi X DPR RI, dia mendesak Kemendikbudristek untuk memperbaiki tata kelola kebijakan pembiayaan pendidikan perguruan tinggi.
Dia juga menyampaikan, Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPTN) merupakan penentu besaran UKT. Sebab itu, pihaknya berkomitmen untuk mengawasi kerja Kemendikbudristek demi memastikan peraturan SSBOPTN sesuai dengan amanat Pasal 88 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim telah mengumumkan, pemerintah membatalkan kenaikan UKT untuk tahun ini. Nadiem menyatakan, kementerian yang dipimpinnya pun akan mengevaluasi permintaan peningkatan UKT yang diajukan oleh perguruan tinggi negeri.
"Kami Kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT di tahun ini. Dan kami akan me-reevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN," ujar Nadiem di Istana Negara, Senin (27/5/2024).