Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untung dan rugi ibarat dua sisi mata uang dalam praktik bisnis. Keduanya punya derajat kemungkinan yang sama. Begitu juga keberhasilan dan kegagalan, adalah dua sisi dari koin yang serupa. Setiap pengusaha harus siap menghadapi keduanya.
Untung adalah hasil dari keputusan yang tepat, strategi yang baik, dan pelaksanaan yang efektif. Ketika usaha berhasil, pengusaha dapat menikmati keuntungan finansial, pertumbuhan perusahaan, dan prestise dalam industri.
Di sisi lain, rugi juga merupakan bagian tak terhindarkan dari bisnis. Keputusan yang kurang tepat, perubahan perilaku pasar, atau kejadian tak terduga dapat menyebabkan kerugian finansial dan menurunkan reputasi perusahaan.
Meski untung dan rugi merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan bisnis, penting untuk mengambil tanggungjawab dan belajar dari sejarah. Tentang pentingnya menghindari tindakan yang mengarah pada konsekuensi hukum.
Seperti dalam kasus manipulasi mesin Volkswagen [VW]. Kasus yang lebih dikenal dengan ‘dieselgate’ ini sebetulnya terjadi pada tahun 2015, tapi dampaknya masih terasa hingga sekarang.
Paling tidak nampak dari penjualan produk-produknya yang dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan.
Business Judgement Rule
Kasus ini bermula dari temuan peneliti University of West Virginia di Amerika Serikat soal mobil diesel VW yang menghasilkan nitrogen oksida [Nox] 40 kali lebih banyak dari yang diizinkan saat diuji di jalanan.
Setahun kemudian, lembaga Pemerintah AS, Environmental Protection Agency, menuduh VW menipu tes emisi diesel menggunakan ‘perangkat curang’. Pihak VW cepat-cepat melarungkan bantahan.
Namun, bukti-bukti menunjukkan direksi VW secara sistematis menggunakan perangkat lunak untuk menipu uji emisi di hampir 11 juta unit mobil diesel di dunia.
Dua hari setelah itu, saham VW langsung anjlok 40 persen. Tak hanya itu, beberapa eksekutif Volkswagen didakwa memanipulasi dan menutupi perbuatannya. Mereka dianggap melakukan upaya persaingan tidak adil, dan melanggar kepercayaan publik.
Skandal emisi Volkswagen memberi pelajar berharga soal pentingnya penerapan prinsip “business judgement rule” atau BJR. Meski penerapannya juga kompleks, namun sangat penting.
BJR dapat melindungi direksi dan komisaris dari tanggung jawab pribadi atas keputusan yang diambil dengan itikad baik demi kepentingan perusahaan. Bahkan jika keputusan tersebut ternyata keliru.
Hanya saja, ada batasan bagi perlindungan ini. Terutama ketika keputusan melibatkan perilaku ilegal atau tidak etis seperti dalam skandal emisi Volkswagen.
Andai saja, ada bukti bahwa para pengambil keputusan di level direksi dan komisaris mengambil keputusan dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan terbaik perusahaan. Mereka juga tidak menyadari sifat ilegal dari manipulasi emisi. Maka berdasarkan prinsip BJR, mereka dapat dilindungi.
Tapi nasi kadung jadi bubur, direksi VW terbukti melakukan manipulasi. Reputasi teknologi ‘clean diesel’ produsen mobil ternama Jerman ini pun remuk redam. Ditambah biaya kerugian yang harus ditanggung sebesar 18 miliar dollar.
Kepastian hukum
Prinsip yang sama juga bisa diterapkan dalam kasus yang menimpa direksi PT Pertamina di kasus pengadaan LNG [liquifed natural gas] atau pun kasus-kasus BUMN lainnya.
Untuk kasus pengadaan LNG, mantan Dirut Pertamina periode 2009-2014 Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar Rp 1,85 triliun. Karen juga disebut memperkaya diri senilai Rp 1 miliar.
Pengelolaan BUMN memang harus dilakukan dengan prinsip tata kelola yang baik. Para direksi wajib menerapkan prinsip business judgement rule atau aturan penilaian bisnis sebagaimana tercantum dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tepatnya di pasal 97 ayat 5, disitu tertulis anggota direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan apabila terdapat bukti itu bukan karena kesalahan dan kelalaiannya.
Selain itu, mereka juga bisa membuktikan ada itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Termasuk tidak adanya benturan kepentingan dalam kasus tersebut.
Karena itu, sepanjang tidak ada benturan kepentingan, kesengajaan, atau pun fraud, mestinya para direksi BUMN bisa melakukan inovasi bisnis dan aksi korporasi dengan bebas tanpa ada bayang-bayang pemidanaan.
Para ekonom dan praktisi bisnis juga sudah bersuara, tentu saja tidak bermaksud memberikan pembelaan. Namun sekadar memberikan catatan bahwa jangan sampai kasus ini menjadi preseden yang buruk terhadap iklim bisnis dan investasi.
Jika tidak dilakukan afirmasi hukum, maka akan banyak direksi perseroan terutama BUMN yang tak mau mengambil risiko. Karena takut dikriminalisasi.
Perlu kita garis bahawi, konsep business judgement rule seperti diatur dalam UU PT pada dasarnya merupakan tameng bagi direksi atau pimpinan perusahaan yang melaksanaan penugasan, terutama perusahaan BUMN. Agar tidak ada rasa takut ketika harus menentukan keputusan bisnis. Meski tentu saja, prinsip kehati-hatian juga penting untuk dijalankan.
Itulah mengapa, UU PT No. 40 tahun 2007 telah mengatur dan mewajibkan bahwa Anggaran Dasar Perseroan harus menempatkan minimal satu orang komisaris independen dan satu komisaris utusan. Karena harapannya komisaris independen dapat bertindak sebagai wasit, menghindari benturan kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas.
Komisaris independen juga diharapkan menjadi penyeimbang terhadap keputusan yang dibuat oleh pemegang saham mayoritas. Jadi seperti mewakili pemegang saham minoritas. Ini dimaksudkan agar kepentingan pemegang saham minoritas tidak terabaikan.
*Doktor Ilmu Hukum dan komisaris Independent PT Jamkrindo