REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Triyono Gani, Analis Finansial
Kata sedekah memiliki asal kata shadaqah yang berarti benar. Maksud dari “benar” di sini adalah bahwa mahluk yang memberikan sedekah menunjukkan kebenaran akan cintanya kepada Allah SWT. Secara umum, sebagai wujud kecitaan kepada Allah SWT, sedekah itu berbentuk perbuatan menolong atau memberikan kebaikan kepada sesama. Walaupun sedekah ini bersifat sunnah muakkad (sunah yang dikuatkan), namun merupakan amal yang sangat dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Bentuk sedekah ini sangat luas sebagaimana disampaikan dalam Hadits Riwayat Ahmad bin Hambal. Secara garis besar, sedekah dapat digolongkan dalam sedekah dengan harta atau sedekah non harta. Contoh dari sedekah non harta adalah berbuat baik, berlaku adil, membantu orang lain dan sebagainya. Sedangkan untuk sedekah dengan membelanjakan harta, dapat dibagi dua yaitu infaq dan waqaf. Infaq bersifat sekali habis, sedangkan waqaf bersifat lebih tetap.
Sebagaimana dinukil dari laman Kementerian Agama Republik Indonesia, Muhammad Hanafy menjelaskan terdapat beberapa bentuk sedekah yang berupa pembelanjaan harta misalnya: menyantuni anak yatim, menyumbang masjid, menyerahkan harta wakaf, membiayai penuntut ilmu, membiayai kegiatan dakwah, memberi makan hewan, membantu kerabat atau fakir miskin.
Manfaat dari sedekah sebagaimana dikemukakan oleh Prudential Syariah, paling tidak ada 3 bentuk. Pertama, sedekah akan meningkatkan kesejahteraan spiritual, bahwa dengan bersedekah secara ikhlash, maka akan memberikan kedamaian, kepuasan batin dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, sedekah akan meningkatkan solidaritas sosial melalui kegiatan berbagi yang akan menimbulkan ikatan sosial yang kuat dan mempersempit kesenjangan sosial. Ketiga, sedekah akan memurnikan harta dan jiwa melalui pemahaman bahwa harta tidak melekat sepenuhnya kepada satu orang manusia dan perlu disucikan melalui kegiatan berbagi sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Terminologi “lipat-ganda” sudah banyak difahami. Di dalam literatur keuangan, dikenal istilah leverage (pengungkit) yang bisa berupa multipikasi terhadap pokok dana untuk meningkatkan potensi hasil investasi. Sebagai contoh, untuk bisnis asuransi, maka jumlah premi yang disetorkan oleh nasabah lebih kecil daripada nilai pertanggungan yang akan diperoleh apabila terjadi kejadian tertentu. Menurut teori, dalam industry asuransi, maka leverage yang wajar adalah 5 hingga 10 kali (perkiraan kasar, karena secara akurat akan dihitung oleh aktuaris). Artinya, apabila nasabah membayarkan premi sebesar Rp1.000.000,- maka berdasarkan kontrak asuransi yang standar dan wajar akan mendapatkan uang pertanggungan berkisar Rp5.000.000,- hingga Rp10.000.000,-
Dalam hal sedekah, juga dikenal multiplikasi. Ayat yang paling sering dikutip adalah QS Al Baqarah ayat 261 menyatakan bahwa sedekah itu ibarat orang menanam benih, dimana setiap benih akan tumbuh menjadi 7 bulir dan setiap bulir akan tumbuh seratus bulir lagi. Jadi, dalam konteks sedekah dalam Islam, maka leverage-nya sebesar 700 kali. Angka ini dalam ilmu investasi cukup fantastis. Sangat sulit untuk mencari bentuk investasi dengan rate of return sebesar ini. Hal ini sangat mudah bagi Allah SWT, sebagaimana disampaikan pada QS Al Baqarah ayat 245 bahwa bagi yang meminjamkan hartanya di jalan Allah SWT, maka Allah SWT akan mengembalikannya dalam jumlah yang berlipat.
Lalu bagaimana agar kita dapat memperoleh efek leverage secara maksimal, artinya kita dapat memperoleh efek leverage dari sisi dana investasi dan efek leverage dari hasil dana investasi sekaligus. Jawaban yang paling sesuai dalah: melalui produk wakaf asuransi. Manfaat leverage pertama adalah ketika nasabah membayarkan premi yang lebih kecil dibandingkan dengan uang pertanggungan. Manfaat leverage kedua adalah ketika Allah melipatgandakan wakaf uang pertanggungan yang telah disepakati oleh nasabah.
Produk wakaf asuransi ini sangat mungkin untuk dilaksanakan saat ini. Pemerintah juga sudah sangat serius dalam mengurusi wakaf yang ditandai oleh disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diikuti dengan penerbitan PP No. tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.41/2004. Setelah itu diperkuat dengan berdirinya Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada tanggal 13 Juli 2007 yang menjadi otoritas pengawas dan regulator kegiatan wakaf di Indonesia.
Potensi wakaf ini sangat besar, karena pada dasarnya yang bisa diikat dengan akad wakaf bukan hanya dalam bentuk asset tidak bergerak saja (seperti tanah dan bangunan), tetapi bisa juga berbentuk harta yang liquid. Dengan luasnya lini produk wakaf inilah maka potensi asuransi wakaf pada khususnya dan penghimpunan dana wakaf pada umumnya memiliki potensi yang sangat besar. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Hal ini membuat semakin mudahnya kita melaksanakan wakaf terutama dalam bentuk uang atau produk keuangan.
Produk asuransi adalah salah satu bentuk produk yang bisa dikategorikan dalam wakaf uang. Ketika nasabah mendapatkan dana melalui pencairan uang pertanggungan, maka nasabah dapat melakukan sedekah terhadap porsi uang petanggungan tersebut melalui akad wakaf. Hal ini bisa terapkan pada asuransi dengan akad konvensional maupun takaful. Yang paling penting adalah adanya niat wakaf yang disisipkan dalam perjanjian penjaminan asuransi. Manfaat yang diperoleh akan luar biasa karena penyumbang bisa mendonorkan dananya Ketika dia meninggal. Beramal pada akhir usia.
Secara prinsip, produk keuangan Wakaf Asuransi ini sangat layak untuk dijual di pasar Indonesia. Namun demikian, untuk kepentingan perlindungan nasabah, tentu saja perlu dipersiapkan infrastruktur aturan, perizinan dan pengawasannya. Seluruh otoritas dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Wakaf Indonesia, perlu duduk bersama mempersiapkan infrastruktur yang diperlukan, sehingga masyarakat merasa nyaman dan mendapatkan kepastian hukum dalam memanfaatkan layanan jasa Wakaf Asuransi.
Selain itu, perlu adanya upaya untuk membentuk permintaan dari masyarakat terkait dengan produk Wakaf Asuransi. Terdapat dua aspek yaitu perlu membangun kompetensi melalui sertifikasi terhadap tenaga pemasar asuransi dan sertifikasi waqif asuransi. Kedua kemampuan ini perlu di siapkan karena produk yang dipasarkan mencakup kedua aspek yaitu asuransi dan wakaf. Tenaga pemasar produk wakaf asuransi perlu memiliki pengetahuan yang lengkap atau bekerja sama antara tenaga pemasar yang ada. Pengetahuan tenaga pemasar yang baik akan menimbulkan rasa percaya dan aman bagi nasabah yang membeli produk mereka.
Aspek lainnya adalah penciptaan permintaan dari masyarakat melalui program sosialisasi yang bersifat masif. Produk asuransi sendiri, sebagaimana kita ketahui masih kurang diserap oleh masayarakat Indonesia. Terlihat dari Tingkat Serapan Asuransi di Indonesia hanya 1,4% berdasarkan ASEAN Insurance Surveillance Report 2022. Banyak yang menjadi penyebab rendahnya angka ini, dan diharapkan dengan masuknya produk wakaf asuransi, maka akan menambah partisipasi masyarakat yang membeli produk asuransi.
The devil is the detail, tentu konsep yang baik ini perlu diwujudkan dalam kerja nyata yang tentu tidak akan mudah. Peran asosiasi perasuransian baik Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia maupun Asosiasi Asuransi Umum Indonesia tidak kalah pentingnya. Kajian dan telaahan yang komprehensif perlu dilakukan untuk melakukan asessment yang lengkap terhadap profil risiko produk ini demi menjaga kestabilan industri keuangan dan perlindungan nasabah.