REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Asosiasi pengusaha biji-bijian Uni Eropa, Coceral, menilai Uni Eropa belum siap mengimplementasikan undang-undang baru yang melarang impor komoditas dan barang-barang yang terkait dengan deforestasi. Undang-undang ini akan mulai berlaku pada akhir Desember.
Dalam undang-undang baru itu, Uni Eropa mengharuskan importir kopi, kakao, daging sapi, kedelai, karet, kayu, dan minyak kelapa sawit untuk membuktikan bahwa rantai pasok mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi. Jika tidak, mereka akan didenda sebesar empat persen dari omzet mereka di Eropa.
Peraturan ini juga berlaku pada petani Eropa yang dilarang mengekspor produk yang dibudidayakan di lahan yang mengalami deforestasi. Ketua Coceral Iliana Axiotiades mengatakan, Parlemen Eropa dan negara anggota Uni Eropa belum siap mengimplementasikan undang-undang tersebut.
"Bahkan sistem informasi, IT yang dibutuhkan industri untuk memasukkan (informasi) ke dalam industri ini belum siap," kata Axiotiades kepada para delegasi pada konferensi International Grains Council (IGC) di London, Selasa (11/6/2024).
Saat ditanya apakah undang-undang yang pada waktunya nanti dapat membentuk kembali pasar komoditas global, ia yakin pelaksanaan UU ini akan ditunda. "Saya yakin akan ada keputusan yang diambil dengan mempertimbangkan kurangnya persiapan, " jawab Axiotiades
Pada bulan Maret, sekitar 20 anggota Uni Eropa meminta Brussel untuk mengurangi dan mungkin menangguhkan undang-undang yang disebut sebagai Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Negara-negara itu mengatakan kebijakan ini akan merugikan para petani.
Pemerintah-pemerintah negara anggota Uni Eropa melonggarkan kebijakan-kebijakan lingkungan. Demi meredakan unjuk rasa petani selama berbulan-bulan yang memprotes berbagai isu mulai dari kebijakan ramah lingkungan Uni Eropa hingga produk impor murah yang menurut mereka mengurangi daya saing produk pertanian Eropa di pasar global.
Negara-negara produsen seperti Indonesia dan Brasil juga mengkritik undang-undang tersebut. Undang-undang itu dianggap diskriminatif dan aturan baru tersebut pada akhirnya dapat mengecualikan para petani kecil yang rentan untuk mengakses pasar Uni Eropa yang menguntungkan.
Mereka khawatir para petani di daerah pedesaan yang terpencil, misalnya, tidak dapat memberikan koordinat geografis kepada para pembeli untuk membuktikan pertanian mereka tidak berada di lahan yang mengalami deforestasi setelah tahun 2020. Ini adalah salah satu persyaratan utama dalam undang-undang tersebut.
Sementara itu, para pedagang komoditas dan perusahaan barang konsumen seperti JDE Peet's yang juga salah satu perusahaan kopi terbesar dunia, menyatakan keprihatinannya industri tidak akan dapat memenuhi persyaratan undang-undang tersebut tepat waktu.