Oleh : Dr Anwar Abbas/Wakil Ketua Umum MUI
REPUBLIKA.CO.ID, Amerika Serikat (AS) merupakan dalang utama di balik konflik Palestina-Israel yang tidak pernah kunjung selesai. Kesimpulan ini memiliki dasar dan alasan yang cukup kuat.
Hal itu terlihat dari 83 kali veto yang digunakan negeri Paman Sam terhadap draf atau rancangan berbagai resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), yang 41 kali di antaranya digunakan oleh AS untuk membela kepentingan Israel. Sikap dan langkah yang dilakukan AS tentu tidak bisa dilepaskan kaitannya, dengan kepentingan dari industri peralatan perang yang mereka miliki.
Dengan adanya perang yang berketerusan antara Israel dan Palestina, AS bisa secara terus-menerus memasok senjata ke negara Zionis tersebut. Sebagai contoh dalam perang yang terjadi sejak Oktober 2023, pemerintah AS telah memasok sekitar 14 ribu peluru tank ke Israel.
Juga dari 22 ribu bom yang dijatuhkan Israel dalam satu setengah bulan pertama perang melawan Palestina, senjata itu juga dipasok oleh AS. Bahkan dalam periode yang sama, AS juga telah mengirim sekitar 15 ribu bom lainnya, termasuk bom penghancur bunker seberat 900 kilogram (kg) dan 50 ribu peluru artileri 155 milimeter (mm).
Akibat dari tindakan Israel dan campur tangan AS tersebut, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (kemenkes) Palestina, di Gaza sekurang-kurangnya korban tewas akibat serangan Israel mencapai sekitar 37.084 orang dan korban luka-luka sekitar 86 ribu orang. Adapun mayoritas korban adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Jadi, dari peristiwa genosida atau pembunuhan massal yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina, peran AS di balik peristiwa tersebut jelas tidak bisa diingkari. Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah sikap dan perilaku dari pemerintah AS yang seperti itu masih layak untuk dihormati?
Hanya orang yang punya hati nurani dan memiliki rasa perikemanusiaan serta perikeadilanlah yang bisa menjawabnya dengan jujur.