REPUBLIKA.CO.ID, BORGO EGNAZIA -- Aktivis iklim mengkritik komitmen negara-negara kaya yang tergabung dalam G7 untuk mengatasi perubahan iklim. Menurut aktivis, pemimpin-pemimpin negara G7 tidak memberikan komitmen konkret.
"Saat dunia membutuhkan kepemimpinan yang berani dari mereka, pertemuan pemimpin tidak menambah nilai baru," kata Wakil Presiden Global Citizen, Friederike Roder, Sabtu (15/6/2024).
Menjelang pertemuan iklim PBB (COP29) pada November mendatang, berdasarkan rancangan pernyataan yang akan disampaikan usai pertemuan di Italia, pemimpin-pemimpin Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris dan Italia mengatakan mereka akan menyampaikan rencana nasional iklim yang "lebih ambisius." Negara-negara G7 juga berkomitmen untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil.
"Kami akan beralih dari bahan bakar fosil dalam sistem energi dengan cara yang adil, teratur dan merata, mempercepat tindakan pada dekade yang sangat penting ini, untuk mencapai nol-emisi pada tahun 2050 sesuai dengan ilmuwan pengetahuan terbaik yang ada," kata rancangan pernyataan tersebut.
Komitmen lain dalam kebijakan iklim dalam rancangan pernyataan itu termasuk janji untuk menghapuskan pembangkit listrik batu bara dalam sistem energi selama paruh pertama 2030-an.
Dalam dokumen tersebut, G7 juga berkomitmen melakukan upaya kolektif mengurangi emisi metana sebanyak 75 persen pada tahun 2030. Pemimpin G7 memberi lampu hijau pada investasi publik ke gas alam, salah satu bahan bakar fosil yang menghasilkan polusi.
"Dalam keadaan luar biasa untuk mempercepat penghapusan ketergantungan kami pada energi Rusia, dukungan investasi publik di sektor gas dapat dilakukan sebagai respon sementara, tergantung pada kondisi nasional yang jelas," demikian dinyatakan dalam rancangan tersebut. "Keengganan G7 untuk mengambil langkah berani menjauh dari investasi minyak dan gas mencerminkan kegagalan untuk memanfaatkan momen ini," kata CEO lembaga think-tank keuangan dan lingkungan Common, Oscar Soria.
Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni yang merupakan tuan rumah pertemuan G7 tahun ini, mencoba mengalihkan fokus G7 ke Laut Tengah dan Afrika. Ia meluncurkan inisiatif "Pertumbuhan Energi di Afrika" bersama tujuh negara Afrika.
Dengan dorongan ini, G7 diharapkan berinvestasi langsung pada energi bersih di Afrika yang sejauh ini hanya sumber bahan bakar fosil dan mineral penting bagi negara-negara maju. Namun, lembaga think-tank perubahan iklim Italia, ECCO mengatakan tidak adanya pendanaan baru ke Afrika mengurangi kredibilitas inisiatif itu.