Ahad 23 Jun 2024 08:20 WIB

'Percuma Ekonomi Tumbuh Tinggi Kalau Kita tak bisa Bernapas'

Pertumbuhan ekonomi jangan sampai mengorbankan lingkungan.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Kepulan asap keluar dari cerobong pabrik tahu yang menggunakan bahan bakar sampah plastik di Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Kepulan asap keluar dari cerobong pabrik tahu yang menggunakan bahan bakar sampah plastik di Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan ekonomi jangan sekadar mengejar angka pertumbuhan. Mengejar pertumbuhan ekonomi juga jangan sampai mengorbankan lingkungan. Ada banyak indikator-indikator lain yang perlu dipertimbangkan.

Hal tersebut penting untuk diperhatikan pemerintah dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Menurut CEO Think Policy Andhyta Firselly Utami, visi Indonesia Emas 2045 dengan pertumbuhan di atas enam persen selama 20 tahun ke depan merupakan visi yang sangat maskulin.

Baca Juga

"Indonesia ingin menjadi ekonomi yang besar, tapi ekonomi yang besar untuk siapa, ekonomi yang besar bentuknya seperti apa, lestari atau tidak, ekonomi yang besar yang didorong karbon yang sangat tinggi dan industrialisasi dan hilirisasi yang mengabaikan masyarakat adat atau komunitas lokal atau ekonomi seperti apa," kata Andhyta dalam diskusi kepemimpinan perempuan dalam perubahan iklim, EmpowerHER: Women Leading the Triple E Green Revolution, Sabtu (22/6/2024).

Andhyta mengakui perekonomian Indonesia memang harus tumbuh, seperti akses terhadap layanan dasar. "Tapi penekanannya ada pada "tumbuhnya", baru bentuknya seperti apa, hijau atau tidak, atau hijau adalah pilihan, adalah masalah," katanya. Andhyta menambahkan, inklusivitas dalam pembangunan ekonomi harus melibatkan berbagai perspektif untuk memperkaya kebijakannya.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang disusun Kementerian PPN/Bappenas menetapkan empat sasaran utama. Pertama, pendapatan per kapita setara dengan negara maju. Kedua, kemiskinan menuju nol persen dan ketimpangan berkurang. Ketiga kepemimpinan dan pengaruh di tingkat global meningkat. Terakhir, daya saing sumber daya manusia meningkat.

Andhyta lantas mencontohkan visi pembangunan di negara lain. Dia mengatakan, negara-negara seperti Selandia Baru dan Belanda tidak hanya fokus pada ekonominya, tapi juga kualitas air dan udaranya.

"Jadi kalau ekonomi bisa besar dan tumbuh tapi kita tidak bisa napas buat apa," katanya.

Andhyta menegaskan, inklusivitas bukan sebuah syarat formalita. Ia mengatakan, di banyak tempat, inklusivitas hanya dinilai jika ada perempuan atau anak muda yang dilibatkan dalam proses pembangunan.

"Tapi tidak dilibatkan, atau tapi tidak diberikan rasa berdaya untuk benar-benar memberikan masukan yang kredibel," katanya.

Diskusi “EmpowerHER: Women Leading the Triple E Green Revolution” merupakan program UN Women atau PBB Perempuan untuk mengadvokasi pentingnya kesetaraan gender dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

Acara ini juga menekankan pentingnya kepemimpinan dan partisipasi bermakna perempuan dalam pengambilan keputusan terkait perubahan iklim, serta peran orang muda dalam edukasi dan aksi iklim. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement