Kamis 27 Jun 2024 06:01 WIB

Mengapa Transisi Energi Jadi Hal Mendesak? Ini Empat Alasannya

Transisi energi wajib dilakukan mengingat dampak perubahan iklim kian nyata.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Satria K Yudha
Petugas membersihkan permukaan panel surya yang terpasang di Pasar Gedhe, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (6/12/2023).
Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugro
Petugas membersihkan permukaan panel surya yang terpasang di Pasar Gedhe, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (6/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transisi energi hijau menjadi isu hangat yang terus didengungkan. Hal itu dibahas di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal menilai transisi energi sangat penting, sesuatu yang sudah berada di level mendesak. Menurut Faisal ada empat alasan yang mendasari hal itu.

Baca Juga

Pertama, transisi diperlukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan menurunkan dampak perubahan iklim. Dalam dokumen Nationally  Determined Contribution (NDC),  target penurunan emisi GRK di Tanah Air 31,89 persen atau setara 912 juta ton. 

Akan tetapi, realisasi pada tahun 2022 hanya 91,5 juta ton atau sangat jauh dari target, "Bahwa memang lambat sekali soal transisi," kata Faisal dalam diskusi yang digelar Kompas Institute, Jakarta, Rabu (26/6/2024).

Alasan kedua transisi energi mendesak adalah untuk meningkatkan keberlanjutan penggunaan energi. Sumber energi fosil bersifat tidak dapat diperbarui dan dalam jangka  panjang akan menjadi langka. 

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, pemerintah menargetkan bauran EBT 23 persen pada 2025. Kemudian, bauran EBT ditargetkan meningkat menjadi 31 persen pada 2030.

Dalam data Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, realisasi EBT pada 2021 masih 12,2 persen. "Energi kita masih didominasi oleh non-EBT (migas dan batu bara)," ujar Faisal.

Alasan ketiga, meningkatkan ketahanan energi. Pemanfaatan sumber energi lokal yang bersih dan terbarukan, dapat meningkatkan keamanan pasokan energi dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi impor. 

Keempat, meningkatkan daya saing ekonomi melalui inovasi teknologi, penghematan biaya energi. "Transisi energi juga bisa menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi bersih."

Faisal menekankan, transisi energi wajib dilakukan mengingat dampak perubahan iklim kian nyata. Salah satu pemicunya adalah penggunaan bahan bakar fosil yang menimbulkan banyak emisi.

"Indonesia juga sering dilanda cuaca ekstrem. Itu bukan sekadar faktor musiman," kata dia.

Pemanasan global yang diakibatkan bahan bakar fosil meningkatkan risiko bencana alam, baik itu banjir, gelombang panas, kekeringan, dan cuaca ekstrem lainnya. Khusus di Tanah Air, masih sering terjadi banjir.

Meningkatnya bencana banjir menggangu logistik dan menghambat pasokan bahan baku, pemasaran. Banjir juga menurunkan produktivitas pangan serta mengancam ketahanan pangan.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement